×
image

Orang Tua Kurang Peduli, Anak Justru Curhat ke ChatGPT dan AI

  • image
  • By Shandi March

  • 23 Jul 2025

Orang Tua Kurang Peduli, Anak Justru Jadi Sibuk Curhat ke ChatGPT dan AI. (Foto: Pixabay)

Orang Tua Kurang Peduli, Anak Justru Jadi Sibuk Curhat ke ChatGPT dan AI. (Foto: Pixabay)


LBJ – Teknologi berkembang pesat, namun di balik kemudahan yang ditawarkan kecerdasan buatan (AI), tersembunyi potensi bahaya yang mengintai generasi muda. Salah satunya adalah ketergantungan anak terhadap chatbot berbasis AI, seperti ChatGPT, akibat kurangnya perhatian dan kelekatan emosional dari orang tua.

Fenomena ini bukan lagi isapan jempol. Psikolog Annisa Axelta dari Eka Hospital Bekasi menegaskan, keterikatan emosional yang renggang di lingkungan rumah mendorong anak-anak mencari tempat lain untuk merasa didengar dan diterima. AI pun menjadi "teman virtual" yang selalu hadir tanpa syarat.

“Ketika anak merasa tidak mendapatkan cukup dukungan emosional di rumah, mereka cenderung mencari alternatif lain untuk mengisi kekosongan itu. Chatbot AI menjadi salah satu pelarian yang terlihat mudah dan langsung memberi respons,” ujar Annisa dikutip dari CNNIndonesia.

Baca juga : Sempat Viral di Medsos, Kini Jakarta Murugan Temple Ditutup untuk Sementara

Anak-anak yang mengalami kecemasan atau kesepian menjadi kelompok paling rentan terhadap ketergantungan ini. Bagi mereka, AI adalah pelarian yang ‘nyaman’, karena mampu merespons tanpa menghakimi. Namun justru di situlah bahayanya.

“Anak jadi tidak belajar mengelola perasaan sulit seperti marah, kecewa, atau takut. Mereka hanya menekan perasaan itu dan ‘melarikan diri’ ke AI yang selalu merespons tanpa tantangan,” jelas Annisa.

Padahal, menghadapi emosi secara sehat adalah bagian penting dari proses tumbuh kembang anak. Ketergantungan berlebihan terhadap teknologi bisa membuat mereka kehilangan dorongan untuk membangun relasi sosial di dunia nyata.

AI Tak Bisa Gantikan Pelukan Orang Tua

Jika dibiarkan, anak-anak bisa merasa cukup dengan interaksi digital. Kelekatan emosional terhadap manusia akan melemah, sementara empati dan kemampuan interpersonal pun ikut tergerus.

Baca juga : Lowongan Kerja Luar Negeri 2025: Daftar Negara yang Buka Pintu untuk Pekerja Indonesia

“Kalau ini terus berlanjut, kelekatan emosional anak terhadap manusia bisa menurun. Dalam jangka panjang, ini mengganggu perkembangan empati, kasih sayang, dan keterampilan membangun hubungan interpersonal,” ujar Annisa.

Bukan hanya soal hubungan keluarga, Annisa juga menyoroti risiko manipulasi oleh AI yang dirancang terlalu “humanis”. Dalam beberapa kasus, AI bahkan dibentuk untuk mendorong perilaku konsumtif atau loyal terhadap produk tertentu.

“Interaksi yang terasa akrab bisa dimanfaatkan untuk mendorong perilaku tertentu, misalnya konsumsi, loyalitas terhadap produk, bahkan pola pikir yang menguntungkan pihak tertentu,” tambahnya.

Solusi Dimulai dari Rumah

Sejumlah riset menyebutkan bahwa penggunaan AI secara berlebihan berisiko menambah kecemasan, memperparah kesepian, dan menghambat pemulihan emosional. Karena itu, peran orang tua menjadi sangat vital.

Baca juga : Ini Tujuh Akibat Menahan Kencing Terlalu Sering, Bisa Picu Kerusakan Ginjal

Annisa mengajak orang tua untuk memulai dari langkah kecil: membuka ruang dialog yang jujur dan empatik. Dengarkan keluhan anak tanpa langsung menilai atau menghakimi.

“Cobalah mulai dengan pertanyaan sederhana seperti, ‘Kamu sedih hari ini?’ atau ‘Apa yang bikin kamu senang minggu ini?’ Buka ruang dialog, dengarkan keluhan anak tanpa langsung memberi solusi atau memarahi,” tutupnya.

AI bisa jadi alat bantu, tapi bukan pengganti. Anak-anak tidak butuh chatbot untuk merasa dicintai—mereka butuh perhatian nyata dari orang tua yang hadir secara emosional dan fisik.***


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post