×
image

Ribuan Akademisi Israel Tuntut Penghentian Perang di Gaza

  • image
  • By Cecep Mahmud

  • 29 May 2025

Para akademisi Israel menyebut ini bukan hanya kejahatan perang tapi juga kejahatan kemanusiaan. (tangkap layar)

Para akademisi Israel menyebut ini bukan hanya kejahatan perang tapi juga kejahatan kemanusiaan. (tangkap layar)


LBJ - Lebih dari 1.200 akademisi Israel telah mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan kepada pimpinan lembaga akademis Israel untuk "berbicara" dan bertindak menghentikan perang di Gaza.

Surat yang dirilis pada Selasa ini mengidentifikasi para akademisi sebagai Kelompok Aksi Bendera Hitam. Mereka mengklaim bahwa sejak Israel melanggar gencatan senjata pada Maret, hampir 3.000 orang telah tewas di Gaza, sebagian besar adalah warga sipil.

Selain peningkatan jumlah korban tewas akibat tembakan Israel, para akademisi menyoroti peringatan tentang kelaparan akut yang dipaksakan kepada Gaza.

Kondisi ini disebut sebagai "akibat dari kebijakan pemerintah Israel yang disengaja dan dinyatakan secara terbuka".

Penderitaan Palestina sebagai Inti Keberatan

Surat akademisi ini merupakan salah satu dari serangkaian surat terbuka yang memprotes perang dari dalam Israel.

Baca juga: Trump Perintahkan Harvard Batasi Pendaftaran Mahasiswa Asing

Namun, berbeda dengan banyak surat lain yang menolak alasan politik di balik serangan terbaru atau mengklaim membahayakan tawanan Israel, surat ini secara unik menempatkan penderitaan Palestina sebagai inti keberatan terhadap perang.

"Sebagai akademisi, kami menyadari peran kami sendiri dalam kejahatan ini," demikian pernyataan surat tersebut.

Para penulis menekankan bahwa masyarakat manusia, bukan hanya pemerintah, yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Sebagian melakukannya dengan kekerasan langsung. Sebagian lainnya melakukannya dengan menyetujui kejahatan dan membenarkannya, sebelum dan sesudah kejadian, dan dengan tetap diam dan membungkam suara-suara di aula-aula pendidikan."

Surat tersebut menambahkan, "Ikatan keheningan inilah yang memungkinkan kejahatan yang jelas-jelas nyata terus berlanjut tanpa menembus batas-batas pengakuan."

Mereka secara tegas menyatakan, "Ini adalah rangkaian kejahatan perang yang mengerikan dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang semuanya merupakan perbuatan kita sendiri."

"Kami tidak bisa mengklaim bahwa kami tidak tahu," tambah surat itu. "Kami sudah terlalu lama bungkam. Demi nyawa orang-orang tak berdosa dan keselamatan semua orang di negeri ini... jika kami tidak menyerukan penghentian perang segera, sejarah tidak akan memaafkan kami."

Tuntutan Aksi Nyata dan Kritik Terhadap Sikap Publik

Para penandatangan surat terbuka menginginkan Asosiasi Kepala Universitas di Israel, Dewan Perguruan Tinggi Negeri Akademik, dan kelompok protes Akademisi untuk Demokrasi Israel untuk "bertindak segera".

Mereka berharap lembaga-lembaga ini "memobilisasi seluruh kekuatan akademisi Israel untuk menghentikan perang Israel di Gaza".

Hal ini secara praktis dapat berarti mengorganisasikan aksi mogok, seperti yang pernah diancamkan sejumlah universitas sebelumnya sebagai protes terhadap kampanye Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang bertujuan melepaskan pemerintahannya dari pengawasan yudisial pada awal 2023.

Baca juga: Kisah Jehad Al-Assar: Perjuangan Melawan Kelaparan di Gaza

"Yang ingin kami katakan adalah bagaimana mungkin perang ini bisa menjadi kurang penting [dibandingkan reformasi peradilan]?" kata Raphael Greenberg, seorang profesor di Universitas Tel Aviv dan salah satu penandatangan surat tersebut.

Greenberg, yang telah melakukan protes harian terhadap perang di Gaza sejak Desember, menegaskan, "Akademisi harus menyampaikan aspirasi mereka."

Selama sembilan belas bulan perangnya di Gaza, Israel telah menewaskan lebih dari 54.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 123.000 orang.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, 92 persen rumah di Gaza telah hancur atau rusak. Ratusan ribu orang telah mengungsi, banyak di antaranya beberapa kali.

"Bagi sebagian dari kami, ini merupakan proses kumulatif sejak 7 Oktober," kata Ayelet Ben-Yishai, seorang profesor di Universitas Haifa.

"Bagi yang lain, saya akan mengatakan itu adalah pelanggaran gencatan senjata pada bulan Maret. Itu adalah momen penting bagi banyak orang, ditambah dengan menyaksikan kelaparan yang telah kami paksakan di Gaza sejak saat itu."

Meskipun kecaman internasional meningkat, kritik di dalam Israel terhadap serangan berkelanjutan negara itu terhadap Gaza terbatas. Umumnya kritik tersebut terbatas pada seruan pemulangan tawanan yang ditangkap selama serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Pada bulan April, sekitar 1.000 pilot angkatan udara, baik yang masih bertugas maupun sudah pensiun, menulis surat terbuka mengkritik perang. Mereka berpendapat perang hanya melayani "kepentingan politik".

Surat terbuka dari para akademisi ini melangkah lebih jauh. Mereka secara eksplisit menyatakan keberatan terhadap penderitaan warga Palestina, posisi yang telah ditolak oleh banyak warga Israel.

"Saya memahami banyak orang yang menolak perang karena berbagai alasan," kata Ben-Yishai, "tetapi saat ini, saya menyambut siapa pun yang menentangnya."

"Kedengarannya hampa, saya tahu, tetapi kami ingin menjadikan penderitaan Palestina sebagai hal utama. Kami ingin mengatakan bahwa kami berdiri bersama dan bersolidaritas dengan warga Palestina," jelasnya.

Ben-Yishai melanjutkan, "Ini juga tentang mengambil tanggung jawab atas apa yang kami lakukan di Gaza dan membuka mata masyarakat terhadapnya."

Posisi akademisi ini masih marjinal di Israel.

"Masih ada tabu publik Israel untuk menunjukkan simpati publik terhadap Palestina," analis politik Israel Nimrod Flaschenberg.

Ia menjelaskan mengapa perlindungan nyawa warga Palestina seringkali menjadi prioritas rendah di antara beberapa pihak dalam gerakan antiperang.

Sebuah pawai oleh pemuda nasionalis yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir pada Minggu secara terbuka mengejek anak-anak Gaza yang tewas.

Pawai tersebut juga melakukan serangan fisik terhadap siapa pun yang dianggap sebagai orang Palestina di kawasan kota tua Yerusalem. Lebih mengkhawatirkan lagi, jajak pendapat warga Israel yang diterbitkan minggu ini oleh Universitas Pennsylvania menunjukkan 82 persen mendukung pengusiran paksa warga Palestina dari Gaza dan dalam perbatasan Israel.

Hampir setengahnya juga mendukung pembunuhan massal warga sipil di kota-kota musuh yang direbut oleh tentara Israel.


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post