×
image

Apa Itu Dwifungsi ABRI/TNI? Sejarah, Implementasi, dan Kontroversi

  • image
  • By Cecep Mahmud

  • 17 Mar 2025

Konsep Dwifungsi ABRI merupakan salah satu kebijakan politik yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. (tangkap layar)

Konsep Dwifungsi ABRI merupakan salah satu kebijakan politik yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. (tangkap layar)


LBJ - Konsep Dwifungsi ABRI merupakan salah satu kebijakan politik yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Kebijakan ini memberikan peran ganda bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai aktor politik dalam pemerintahan.

Meskipun telah dihapuskan pasca-Reformasi 1998, kekhawatiran akan kembalinya konsep ini kembali mencuat seiring dengan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah dibahas.

Pengertian Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI adalah kebijakan yang menempatkan militer tidak hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara tetapi juga sebagai pengelola pemerintahan dan penggerak kehidupan sosial politik. Dengan kata lain, ABRI memiliki dua fungsi utama: sebagai kekuatan militer dan sebagai kekuatan politik.

Konsep ini diperkenalkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan menjadi alat legitimasi untuk menempatkan personel militer dalam berbagai jabatan di pemerintahan.

Baca juga: DPR Gelar Rapat Pembahasan RUU TNI di Hotel Mewah, Aktivis Protes Transparansi

Sejarah dan Perkembangan Dwifungsi ABRI

Mengutip buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan, gagasan awal Dwifungsi ABRI berasal dari konsep Jalan Tengah yang dikembangkan oleh Jenderal A.H. Nasution.

Gagasan ini mengusulkan agar militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan tetapi juga dalam sektor sosial, ekonomi, dan politik.

Pada tahun 1982, konsep ini dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, yang memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan. Akibatnya, banyak perwira aktif yang menduduki jabatan penting di legislatif, eksekutif, dan bahkan sektor bisnis.

Dominasi militer ini menyebabkan berkurangnya peran sipil dalam pemerintahan serta memicu berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Puncak pengaruh Dwifungsi ABRI terjadi pada tahun 1990-an, di mana militer menguasai hampir seluruh aspek pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, duta besar, pimpinan BUMN, hingga menteri di kabinet Soeharto.

Baca juga: Fakta Rapat Tertutup Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Deddy Corbuzier Beri Klarifikasi

Dampak Dwifungsi ABRI

Kebijakan Dwifungsi ABRI memiliki dampak besar terhadap sistem pemerintahan dan kehidupan politik di Indonesia, di antaranya:

  • Dominasi Militer dalam Pemerintahan: Banyaknya perwira aktif yang menduduki jabatan sipil mengurangi kesempatan bagi warga sipil untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
  • Pelemahan Demokrasi: Keterlibatan militer dalam politik menyebabkan sistem pemerintahan menjadi tidak transparan dan otoriter.
  • Pelanggaran HAM: Militer digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam oposisi dan menekan gerakan pro-demokrasi.

Reformasi 1998 dan Penghapusan Dwifungsi ABRI

Setelah Reformasi 1998, penghapusan Dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda utama. Salah satu langkah nyata adalah pemisahan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta pembatasan keterlibatan militer dalam jabatan sipil.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa prajurit TNI hanya diperbolehkan menduduki 10 posisi di kementerian/lembaga tertentu, seperti Kemenko Polhukam, Sekretaris Militer Presiden, BIN, BNN, BASARNAS, hingga Mahkamah Agung.

Baca juga: Kantor Kontras Didatangi 3 OTK Usai Geruduk Rapat RUU TNI di Hotel Mewah

Kekhawatiran Akan Kembalinya Dwifungsi TNI

Saat ini, revisi UU TNI yang sedang dibahas menimbulkan kekhawatiran akan bangkitnya kembali Dwifungsi TNI. Revisi tersebut memperluas jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI dari 10 menjadi 16 kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung, serta Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengungkapkan bahwa penambahan BNPP dalam daftar kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif merupakan keputusan Panja RUU TNI pada Sabtu (15/3/2025).

“Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI,” ujar Hasanuddin kepada Antara.

Selain itu, revisi ini mengizinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri dari kedinasan militer. Hal ini dinilai sebagai langkah mundur dari semangat reformasi dan membuka kembali ruang dominasi militer dalam politik sipil.***


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post