×
image

Protes Meluas di Israel Usai Netanyahu Tunda Gencatan Senjata dengan Hamas

  • image
  • By Cecep Mahmud

  • 04 Mar 2025

Warga Israel berunjuk rasa menuntut pemerintahan Netanyahu menyelesaikan semua tahapan dari kesepakatan gencatan senjata. (foto X/@AmberRizvi302)

Warga Israel berunjuk rasa menuntut pemerintahan Netanyahu menyelesaikan semua tahapan dari kesepakatan gencatan senjata. (foto X/@AmberRizvi302)


LBJ - Pemerintah Israel menunda kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, yang seharusnya memasuki tahap kedua. Keputusan ini memicu aksi protes besar-besaran di luar kediaman Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Minggu malam.

Massa yang berkumpul bukan untuk menuntut penghentian perang atau menyoroti penderitaan warga Palestina di Gaza. Fokus utama mereka adalah kelanjutan negosiasi pembebasan tawanan Israel yang masih tertahan di wilayah tersebut.

Tertundanya Kesepakatan dan Kembali Memanasnya Konflik

Pada Sabtu, fase pertama gencatan senjata berakhir. Namun, kesepakatan yang ditandatangani pada Januari menyatakan bahwa ketentuan gencatan senjata—termasuk pengiriman bantuan ke Gaza—harus tetap berjalan selama negosiasi tahap kedua berlangsung.

Namun, pada Minggu, Israel mengumumkan munculnya “rencana Witkoff”, merujuk pada utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Rencana ini mengusulkan pembebasan setengah dari tawanan Israel terlebih dahulu, sementara sisanya dibebaskan setelah tercapai kesepakatan gencatan senjata permanen.

Proposal ini pada dasarnya menggantikan perjanjian awal dan memberi Israel alasan untuk kembali memblokade Gaza. Akibatnya, harga pangan di wilayah tersebut melonjak drastis.

Baca juga: Negara-Negara Arab dan Kelompok HAM Kecam Israel atas Pemblokiran Bantuan ke Gaza

Blokade Bantuan dan Reaksi Internasional

Pemblokiran bantuan kemanusiaan oleh Israel mendapat kecaman dari berbagai pihak. UNICEF memperingatkan bahwa tindakan ini berdampak buruk bagi anak-anak dan keluarga di Gaza yang telah menghadapi perang selama lebih dari 16 bulan.

Profesor Gerry Simpson dari London School of Economics menegaskan bahwa hukuman kolektif terhadap populasi sipil dilarang dalam Konvensi Jenewa, terlepas dari siapa yang menerapkannya.

Di sisi lain, pemerintah Israel juga tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang yang memungkinkan mobilisasi 400.000 tentara cadangan. Ini menjadi langkah lanjutan setelah mobilisasi besar-besaran 300.000 pasukan pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Tekanan dari Keluarga Tawanan Israel

Kemarahan publik Israel terhadap Netanyahu semakin meningkat, terutama dari keluarga para tawanan. Hingga kini, sekitar 251 tawanan Israel masih berada di Gaza, dan keluarganya terus menuntut pemerintah untuk bertindak lebih cepat dalam membebaskan mereka.

Lishay Miran-Lavi, yang suaminya masih disandera di Gaza, menolak klaim bahwa kesepakatan tidak dapat dicapai selama Hamas masih berkuasa.

"Sandera segera, Hamas kemudian," tegasnya dalam konferensi pers.

Alon Pinkas, mantan duta besar Israel untuk AS, mengatakan bahwa jika kebuntuan terus berlanjut, publik akan semakin yakin bahwa Netanyahu sengaja menunda kesepakatan untuk memperpanjang perang.

Baca juga: Israel Hentikan Bantuan ke Gaza, Ancam Hamas Jika Gencatan Senjata Tak Diperpanjang

Analis politik Ori Goldberg menyebutkan bahwa Netanyahu saat ini kehilangan kendali atas narasi yang berkembang.

"Penundaan ini bisa semakin memperburuk citranya di mata publik Israel," katanya.

Netanyahu dan Kalkulasi Politiknya

Netanyahu sejak awal telah menunjukkan sikap skeptis terhadap gencatan senjata. Pada Januari, ia bernegosiasi dengan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich untuk tetap berada di kabinet, dengan janji bahwa gencatan senjata hanya bersifat sementara dan perang akan kembali dilanjutkan.

Analis Nimrod Flashenberg dari Tel Aviv mengatakan banyak pihak tidak mempercayai Netanyahu.

“Sejak awal, banyak yang ragu apakah gencatan senjata ini akan berhasil. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan ini akan dipengaruhi oleh pemerintahan AS di bawah Donald Trump,” katanya.

Bagi Netanyahu, strategi politik yang rumit ini dianggap penting untuk mempertahankan kekuasaannya. “Ia tidak memiliki pesaing politik yang kuat saat ini, tetapi dengan cara ini, ia tetap bisa mengendalikan situasi di Israel,” ujar Goldberg.

Namun, kritik terhadap Netanyahu bukan hanya soal kebijakan perangnya, melainkan cara ia menangani negosiasi.

“Banyak masyarakat Israel merasa jika ada pemimpin lain, mereka bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan tanpa perlu berkompromi,” tambah Goldberg.***


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post