Rencana Trump Soal Pemindahan Warga Palestina Picu Ketegangan di Yordania dan Mesir
By Cecep Mahmud
13 Feb 2025

Yordania dan Mesir menolak pemindahan warga Palestina dari Gaza. (foto X/@RHCJO)
LBJ - Pernyataan Donald Trump tentang pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza dan pemindahan mereka ke Mesir dan Yordania menimbulkan reaksi keras dari kedua negara. Para analis memperingatkan bahwa rencana ini dapat mengguncang aliansi regional dan berdampak pada stabilitas kawasan.
Trump Tekan Yordania dan Mesir untuk Terima Pengungsi Palestina
Trump kembali menegaskan niatnya setelah bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II pada Selasa (12/2). Sebelumnya, ia mengindikasikan bahwa bantuan luar negeri AS kepada kedua negara akan dijadikan alat tekanan agar mereka menyetujui pemindahan warga Palestina dari Gaza.
Dalam pertemuan itu, Abdullah berusaha menenangkan Trump dengan menawarkan untuk menampung 2.000 anak sakit dari Gaza ke Yordania.
"Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis finis untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran bagi kita semua di kawasan ini," kata Raja Abdullah kepada Trump.
Komentar ini mendapat respons positif dari Trump, yang menyebutnya "musik di telinga saya".
Baca juga: Delegasi Hamas Tiba di Kairo, Bahas Gencatan Senjata Gaza dengan Mediator
Namun, baik Kairo maupun Amman secara tegas menolak rencana Trump. Mesir bahkan akan menjadi tuan rumah KTT Arab darurat pada 27 Februari untuk menyusun strategi guna melawan rencana AS tersebut.
Ketergantungan Yordania dan Mesir pada Bantuan AS
Baik Yordania maupun Mesir telah lama bergantung pada bantuan luar negeri AS.
Mesir telah menerima lebih dari $87 miliar bantuan AS sejak 1946. Bantuan ini meningkat pesat setelah Mesir menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan Israel pada 1979. Saat ini, Mesir menerima $1,4 miliar bantuan militer AS per tahun, menjadikannya penerima bantuan terbesar setelah Israel.
Yordania, yang menandatangani Perjanjian Wadi Araba dengan Israel pada 1994, juga menerima bantuan AS yang besar. Saat ini, Washington mengirimkan $1,72 miliar per tahun ke Yordania, membantu sektor ekonomi dan infrastruktur negara itu.
Namun, AS baru-baru ini memangkas bantuan USAID sebesar $770 juta, yang berdampak pada pendidikan, ketahanan air, dan kementerian pekerjaan umum Yordania.
Menurut Dima Toukan, peneliti di Middle East Institute, Yordania telah lama menjadi sekutu utama Barat, memainkan peran penting dalam melindungi Israel dari Iran, menampung pengungsi, serta melawan ekstremisme dan terorisme.
Baca juga: Delegasi Hamas Tiba di Kairo, Bahas Gencatan Senjata Gaza dengan Mediator
Ancaman Ketidakstabilan dan Potensi Aliansi Baru
Para analis memperingatkan bahwa pemaksaan rencana ini oleh AS dapat mengancam stabilitas di Mesir dan Yordania.
Bagi Yordania, dampaknya bisa bersifat "eksistensial", mengingat sebagian besar penduduknya adalah keturunan Palestina. Jika Yordania menerima lebih dari 1 juta pengungsi baru, maka demografi dan identitas nasional negara itu bisa berubah secara drastis.
Untuk menghindari tekanan AS, Mesir dan Yordania mungkin akan mencari sumber pendanaan lain, termasuk dari negara-negara Teluk atau kekuatan global seperti Rusia dan China.
"Jika AS menarik bantuannya, negara lain pasti akan berusaha mengisi kekosongan tersebut," kata Toukan.
Pengaruh China di Mesir telah meningkat pesat dalam dekade terakhir. Bahkan, tahun 2025 telah ditetapkan sebagai 'Tahun Kemitraan Mesir-China' oleh kedua negara.
Baca juga: Hasil Pertemuan Trump dan Raja Yordania: Perbedaan Sikap Soal Gaza Tetap Kuat
Negara-negara GCC (Dewan Kerja Sama Teluk) juga mungkin akan meningkatkan dukungan mereka terhadap Yordania dan Mesir, terutama karena mereka juga menentang rencana pemindahan paksa Trump.
Namun, meskipun bantuan dari pihak lain datang, para ahli memperingatkan bahwa lubang miliaran dolar dalam anggaran Yordania dan Mesir tidak akan tertutupi sepenuhnya.
Menurut Geoffrey Hughes, penulis buku Kinship, Islam, and the Politics of Marriage in Jordan, situasi ini bisa memicu langkah-langkah penghematan yang sangat tidak populer, yang berpotensi memicu protes besar-besaran di kedua negara.
"Hal ini juga akan berdampak langsung pada aparat keamanan, mengingat banyak bantuan AS saat ini disalurkan melalui militer dan polisi," tambah Hughes.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini