Warga Gaza Marah atas Pernyataan Donald Trump: Kami Tidak Akan Pergi
By Cecep Mahmud
06 Feb 2025

Donald Trump, menyatakan bahwa AS berencana untuk “mengambil alih” Gaza dan menyarankan pemindahan permanen warga Palestina dari wilayah tersebut. (tangkap layar X/@krassenstein)
LBJ - Warga Palestina di Gaza tengah merespons dengan kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap pernyataan kontroversial Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyatakan bahwa AS berencana untuk “mengambil alih” Gaza dan menyarankan pemindahan permanen warga Palestina dari wilayah tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang disebut-sebut bertanggung jawab atas kehancuran Gaza akibat perang yang masih berlangsung.
Wasayef Abed, seorang perempuan Palestina berusia 36 tahun yang saat ini tinggal di kamp pengungsi di Deir el-Balah setelah rumahnya di Gaza utara hancur, menegaskan bahwa ia tidak akan meninggalkan Gaza meskipun dihadapkan pada tekanan internasional.
“Ibu saya dan saya tidak akan pernah pergi dari sini,” katanya, sambil menambahkan bahwa tujuan utama mereka adalah kembali ke rumah mereka yang hancur.
Baca juga: Trump akan Tarik AS dari Dewan HAM PBB, UNRWA Kembali Jadi Sorotan
Wasayef menilai komentar Trump sebagai bentuk tekanan politik terhadap warga Palestina dan kelompok bersenjata di Gaza seperti Hamas.
“Orang-orang di sini tidak akan menerima pemindahan paksa. Kami sudah menghadapi pemindahan internal, tetapi memaksa kami keluar dari negara kami tidak akan pernah berhasil,” ujarnya.
Sikap keras ini juga diungkapkan oleh Imad al-Qassas, seorang ayah enam anak berusia 60 tahun yang kini tinggal di tenda pengungsian di Deir el-Balah.
“Itu tidak mungkin terjadi,” tegasnya saat ditanya soal kemungkinan migrasi massal.
Baginya, tawaran pemindahan ke negara lain dengan kompensasi materi tidak dapat menggantikan kesucian tanah air mereka.
“Saya pernah tinggal di Sudan, Libya, dan Uni Emirat Arab. Pada akhirnya, saya selalu pulang ke Gaza. Kehidupan di luar Gaza tidak mudah, bahkan dalam keadaan normal. Sekarang, dengan status kami sebagai pengungsi, itu akan jauh lebih sulit,” kata Imad.
Baca juga: Warga Jenin Takut Menguburkan Keluarga yang Tewas Akibat Serangan Israel
Ketidakpedulian dan Putus Asa di Tengah Kehancuran
Namun, tidak semua warga Gaza menunjukkan perlawanan emosional. Beberapa mengaku tidak lagi peduli pada pernyataan Trump atau situasi politik global. Iman Maqbel (52), yang kehilangan dua anak perempuan dan dua cucu akibat serangan udara Israel, mengatakan bahwa tragedi yang dialaminya membuatnya kehilangan harapan.
“Sejak kehilangan mereka, saya tidak peduli lagi dengan apa pun,” katanya dengan air mata mengalir.
Bersama suaminya Khaled, mereka telah berpindah tempat tinggal lima kali dalam setahun terakhir akibat pengungsian paksa. Khaled menegaskan bahwa meski mereka dipaksa keluar dari Gaza utara selama perang, mereka tidak akan mengikuti instruksi Trump untuk meninggalkan wilayah tersebut.
Generasi Muda di Persimpangan Jalan
Sementara itu, Mahmoud Abu Ouda (23) mewakili generasi muda Gaza yang terjepit antara keinginan untuk bertahan dan tekanan hidup yang membuat mereka ingin pergi. Mahmoud, yang mengelola kedai kecil di Deir el-Balah, mengungkapkan keinginannya untuk meninggalkan Gaza secepat mungkin jika diberi kesempatan.
“Ini bukan kehidupan. Setelah perang, tidak ada yang tersisa di sini,” ujarnya. “
Jika mereka membuka perbatasan Rafah, saya akan menjadi orang pertama yang pergi.”
Baca juga: Trump dan Netanyahu Bahas Rencana AS Ambil Alih Gaza
Namun, Mahmoud menolak gagasan pemindahan paksa dan mengkritik kenyataan bahwa selama ini warga Gaza selalu terjebak dalam situasi tanpa pilihan.
“Kami dipaksa bertahan selama perang, dipaksa melarikan diri dari rumah kami, dan sekarang mereka ingin memaksa kami pergi lagi,” tambahnya.
Di sisi lain, Amir Taleb (24) menegaskan bahwa meski hidup di Gaza penuh kesulitan, ia menolak tunduk pada rencana Trump.
“Ini adalah perang psikologis yang dirancang untuk menghancurkan semangat kami,” katanya.
Amir pernah berimigrasi ke Belgia, tetapi memutuskan untuk kembali ke Gaza karena kehidupan di pengasingan juga tidak memberinya jaminan keamanan atau kenyamanan.
Dunia Mengabaikan Penderitaan Gaza
Di tengah respons beragam ini, banyak warga Gaza menyalahkan tidak hanya Trump dan Israel, tetapi juga negara-negara tetangga yang dinilai tidak berbuat cukup untuk menghentikan perang dan membela hak-hak warga Palestina. Imad al-Qassas, misalnya, mengkritik pemerintah Hamas dan Otoritas Palestina karena gagal melindungi warga sipil.
“Kami masyarakat yang terdidik dan memiliki hak untuk hidup di tanah ini. Dunia tidak memiliki hak untuk memaksa kami pergi,” tegas Imad.
Pernyataan Trump memicu kekhawatiran bahwa rencana tersebut merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengosongkan Gaza dari penduduk asli dan membuka jalan bagi kepentingan Israel. Namun, warga Gaza bersumpah untuk tetap bertahan meski menghadapi ancaman migrasi paksa dan kondisi kehidupan yang semakin sulit.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini