×
image

Waspada! Celah Rekayasa Konstitusional di Balik Putusan MK soal Capres Tanpa Threshold

  • image
  • By Shandi March

  • 07 Jan 2025

Celah Rekayasa Konstitusional di Balik Putusan MK soal Capres Tanpa Threshold. ( Foto: IG@mahkamahkonstitusi)

Celah Rekayasa Konstitusional di Balik Putusan MK soal Capres Tanpa Threshold. ( Foto: IG@mahkamahkonstitusi)


LBJ - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menuai perhatian luas. Putusan ini, yang bersifat final dan mengikat, membawa perubahan besar dalam mekanisme pencalonan pemimpin negara. Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah siap membahas revisi UU Pemilu bersama DPR.

“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ujar Yusril.

Ia menegaskan bahwa semua pemangku kepentingan, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akademisi, hingga masyarakat, akan dilibatkan dalam proses ini.

Baca juga : Cerita Mahasiswa UIN Yogya Gugat Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi

Pengawasan Publik Diperlukan untuk Cegah Penyimpangan

Keputusan MK ini memindahkan tanggung jawab besar ke tangan pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang.

Herdiansyah Hamzah, peneliti dari Pusat Studi Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menekankan pentingnya pengawasan publik dalam implementasi putusan tersebut.

Menurut Herdiansyah, partisipasi publik yang bermakna adalah amanat utama dari keputusan MK.

"Jadi mereka-mereka yang selama ini bergiat dalam hal kepemiluan, gerakan masyarakat sipil, semuanya harus dibuka ruang partisipasi untuk mereka, karena ini harus dijalankan secara inklusif di mana melibatkan semua orang dalam proses partisipasi," tegasnya.

Herdiansyah juga meminta agar proses pembahasan undang-undang dilakukan secara transparan dengan membuka konsep atau rancangan awal kepada publik untuk mendapatkan masukan.

Baca juga : Sidang Uji Materi di MK Tanpa Kuasa Hukum, Mahasiswa UIN Suka Menangkan Gugatan Terhadap Presidential Threshold

Menurut Castro, sapaan akrabnya Herdiansyah, pengawasan harus dilakukan simultan, baik secara internal di parlemen maupun eksternal oleh masyarakat, sambil mengingatkan kasus putusan MK terkait Pilkada yang sempat diabaikan DPR hingga memicu aksi demonstrasi di berbagai daerah.

Potensi Celah Permainan di Balik Rekayasa Konstitusional

Meski putusan MK telah menghapus ambang batas, beberapa pihak khawatir adanya celah untuk menyiasati aturan tersebut. MK sendiri mengusulkan rekayasa konstitusional untuk mencegah terlalu banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilu mendatang.

Namun, Castro memperingatkan bahwa rekayasa ini bisa menjadi pintu bagi pemerintah dan DPR untuk menafsirkan putusan secara keliru.

“Nah, ini yang saya khawatirkan. Jangan sampai pembentuk undang-undang menafsirkan perintah MK ini dalam bentuk pembatasan yang justru membatasi hak-hak konstitusional, terutama dari partai politik,” ungkapnya.

Berbeda pendapat, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa potensi untuk menyimpang dari putusan cenderung kecil.

"Akan sangat kecil, kecuali pembentukan undang-undang ingin mengacaukan hasil pemilu 2029. Misalnya mereka mencoba membuat tafsir-tafsir tertentu yang berbeda dengan putusan MK, maka dengan sendirinya apa yang dijadikan undang-undang itu tidak sah," katanya.

Feri memperingatkan, jika hal ini terjadi, konsekuensinya akan sangat besar, termasuk delegitimasi hasil pemilu.

"Kalau main-main begitu di Pilkada masih mungkin, masuk akal mereka mau secara politis mengganggu putusan MK. Tapi kalau mengganggu putusan MK terkait Pilpres, konsekuensinya jauh lebih besar dari Pilkada," imbuh Feri. ***


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post