Sidang Uji Materi di MK Tanpa Kuasa Hukum, Mahasiswa UIN Suka Menangkan Gugatan Terhadap Presidential Threshold
By Shandi March
04 Jan 2025
Sidang Uji Materi di MK Tanpa Kuasa Hukum, Mahasiswa UIN Suka Menangkan Gugatan Terhadap Presidential Threshold. (Foto : X@Boediantar4)
LBJ - Perjalanan panjang yang dialami empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tsalis Khoriul Fatna, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Faisal Nasirul Haq, akhirnya membuahkan hasil yang signifikan.
Selama hampir satu tahun, mereka berjuang tanpa bantuan kuasa hukum untuk menguji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang terkait dengan presidential threshold. Hasil perjuangan mereka berakhir dengan kemenangan, saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mereka.
"Kami itu beracaranya selama kurang lebih satu tahun, jadi selama periode kita kalau nggak salah tujuh kali sidang sampai putusan, yang mana di antara sidang kedua dan ketiga itu kita lagi masa KKN. Jadi mungkin itu momen-momen yang tidak terlupakan, dan juga perjuangan yang sangat-sangat berarti bagi kami," ceritaTsalis Khoriul Fatna, salah seorang mahasiswa pemohon, Jumat (3/1).
Baca juga : Cerita Mahasiswa UIN Yogya Gugat Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi
Keempat mahasiswa ini melakukan seluruh proses sidang secara mandiri tanpa pengacara, karena alasan keterbatasan biaya.
Penting untuk dicatat bahwa dalam perjuangan mereka, para mahasiswa ini mengikuti semua tahapan pengujian materiil, seperti pemeriksaan pendahuluan dan pembuktian, tanpa pendampingan kuasa hukum.
"Dan kalau ditanya apakah kami menggunakan kuasa hukum dan lain-lain, kami di sini tidak menggunakan kuasa hukum karena kami masih mahasiswa, belum mampu menggaet seorang kuasa hukum," ujar Tsalis, yang kini aktif di Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), sebuah organisasi resmi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka.
Dampaknya Terhadap Demokrasi
Penting untuk dipahami bahwa gugatan mereka terkait dengan ketidakadilan yang mereka lihat dalam Pasal 222 UU Pemilu, yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Keempat mahasiswa ini berargumen bahwa kebijakan tersebut mengurangi hak politik rakyat untuk memilih presiden sesuai dengan preferensi mereka, terutama dengan adanya agregasi partai politik yang mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.
Meskipun sebagian besar mengikuti sidang secara daring, salah satu mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka mengungkapkan bahwa dua rekannya, Rizki dan Faisal, sempat berhadapan langsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada kesempatan tersebut, mereka mendengarkan keterangan dari pakar hukum tata negara, Yance Arizona, yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang tersebut.
Baca juga :Cak Imin Dukung Putusan MK Batalkan Presidential Threshold, PKB Siap Usung Kader Jadi Capres
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka, Ali Sodiqin, menjelaskan bahwa meskipun kampus tidak terlibat dalam substansi gugatan yang diajukan oleh keempat mahasiswanya, pihak kampus tetap memberikan dukungan berupa dana delegasi dan prestasi. Hal ini memfasilitasi Tsalis dalam mengikuti sidang, baik secara daring maupun tatap muka.
Ali juga menyatakan bahwa keempat mahasiswa tersebut merupakan bagian dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), sebuah organisasi mahasiswa resmi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka yang didukung oleh dosen pendamping internal dan memiliki jaringan luas dengan alumni yang berprofesi di bidang hukum.
"Jadi kalau kemudian mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengacara, karena mereka merasa bahwa mereka sudah cukup didampingi oleh pembimbing internal mereka dan pembimbing-pembimbing eksternal yang mampu memberikan argumen-argumen," ungkap Ali Sodiqin.
Putusan MK yang menghapuskan presidential threshold menjadi sebuah langkah signifikan, pertama kalinya sejak sebelumnya seringkali ditolak oleh MK.
Sebelumnya MK pernah memutuskan perkara yang sama atau serupa pada putusan sebelumnya. Hakim Konstitusi Saldi Isra pada Februari 2024 lalu pernah menyampaikan norma pada pasal 222 itu telah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.
Dengan keputusan ini, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan untuk menghapus kebijakan presidential threshold yang selama ini dianggap menghambat proses demokrasi.
Keputusan ini menciptakan preseden baru dalam uji materiil terhadap Undang-Undang Pemilu, yang kini dianggap lebih mengakomodasi kepentingan rakyat.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini