×
image

Cerita Mahasiswa UIN Yogya Gugat Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi

  • image
  • By Shandi March

  • 03 Jan 2025

Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta berhasil mencuri perhatian publik setelah gugatan mereka terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan MK. (Foto : X@Boediantar4)

Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta berhasil mencuri perhatian publik setelah gugatan mereka terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan MK. (Foto : X@Boediantar4)


LBJ - Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta berhasil mencuri perhatian publik setelah gugatan mereka terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, perjalanan mereka menuju kemenangan tidaklah mudah.

Enika Maya Oktavia, salah satu mahasiswa penggugat, mengungkapkan bahwa sejak awal dirinya dan rekan-rekan merasa pesimis.

"Untuk optimis atau tidak, jawab jujur tidak optimis," kata Enika Maya Oktavia, salah satu mahasiswa UIN Suka pemohon uji materi UU Pemilu, saat menceritakan proses pengajuan gugatan, Jumat (3/1).

Rasa pesimis ini muncul saat mereka membaca draft permohonan awal yang dianggap jauh dari sempurna. Bahkan, setelah melalui sidang pendahuluan, mereka sempat merasa peluang untuk melanjutkan ke sidang pokok sangat kecil.

Baca juga : Enika Maya Oktavia, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang Mengubah Sejarah Mendorong Penghapusan Presidential Threshold di MK

"Ketika kami baca permohonan kami, kok jelek, ya. Kemudian kami masuk ke sidang pendahuluan, nah itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi," lanjutnya.

Namun, meskipun banyak yang memprediksi gugatan mereka akan ditolak, keempat mahasiswa ini tetap melanjutkan perjuangan dengan tekad yang kuat.

"Lalu kami merasa, wah ini chance untuk ke persidangan pokok permohonan saja sepertinya sangat kecil," sambung mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Suka semester 7 itu.

Keyakinan Terhadap Legal Standing

Meski sempat pesimis, Enika dan rekan-rekannya percaya bahwa legal standing mereka sebagai pemohon uji materi tidak akan dipermasalahkan.

Mereka berargumen bahwa pemilih adalah subjek demokrasi yang seharusnya didengar suaranya, bukan sekadar objek dalam pelaksanaan pemilu.

"Kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi yang seharusnya pendapatnya didengarkan, 32 putusan sebelum perkara kami itu sudah membuktikan bahwa masyarakat enggan adanya presidential threshold," jelas Enika.

Menurutnya, dari 32 putusan sebelumnya terkait judicial review ambang batas pencalonan presiden, MK tidak pernah mengabulkan permohonan untuk menghapus angka presidential threshold.

Baca juga :MK Kabulkan Gugatan, Presidential Threshold 20 persen Resmi Dihapus

Namun, mereka yakin argumen bahwa pemilih adalah subjek demokrasi mampu mematahkan pandangan tersebut.

Keputusan MK yang dibacakan pada Kamis (2/1) akhirnya mengabulkan gugatan mereka. Dalam putusannya, Mahkamah menilai bahwa ambang batas pencalonan presiden telah membatasi hak konstitusional pemilih dan membuat pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Hal ini, menurut Mahkamah, berpotensi memicu polarisasi masyarakat.

"Maka, seharusnya DPR selaku perwakilan kita di parlemen itu memahami betul keinginan masyarakat. Bukan kemudian mengabaikan aspirasi. 32 putusan itu bukan angka yang kecil. Sekali lagi untuk legal standingnya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan," pungkas Enika.***


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Popular Post