Tragedi Rumah Sakit Kamal Adwan: Dunia Internasional Diam di Tengah Derita Gaza
By Cecep Mahmud
31 Dec 2024

Rumah Sakit KAmal Adwan, satu-satunya rumah sakit di wilayah Gaza Utara. (X/ dibakar militer Israel. (X/@AnasAlSharif0)
LBJ - Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara menjadi saksi bisu kekejaman perang yang tak kunjung usai. Israel menyerbu fasilitas medis terakhir di wilayah tersebut, memaksa pasien, staf medis, dan pengungsi untuk meninggalkan tempat perlindungan mereka. Dunia internasional memilih bungkam di tengah tragedi kemanusiaan ini.
Jumat pagi yang mencekam menyelimuti Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahiya, Gaza utara. Suara tank Israel menggema di sekitar kompleks rumah sakit, memecah keheningan yang telah diwarnai ketakutan selama berbulan-bulan. Lewat pengeras suara, pasukan Israel memerintahkan semua orang—pasien, staf medis, dan pengungsi—untuk segera mengosongkan area tersebut.
"Kami mendengar perintah untuk pergi, bahkan pasien yang tengah terbaring lemah pun dipaksa keluar," ujar Izzat al-Aswad, salah satu pasien di rumah sakit tersebut.
Baca juga: Direktur RS Kamal Adwan, Abu Safia, Diduga Ditahan di Fasilitas Penyiksaan Israel
Sekitar pukul 6 pagi, pasukan Israel memanggil Dr. Hussam Abu Safia, direktur Rumah Sakit Kamal Adwan. Setelah berbicara dengan pasukan, Dr. Abu Safia kembali dan mengumumkan bahwa semua orang harus pergi. Namun, tak lama setelah itu, ia ditangkap oleh militer Israel dan hingga kini tidak dibebaskan, meskipun ada tekanan dari PBB dan organisasi kemanusiaan internasional.
"Permohonan Dr. Hussam untuk bantuan dan perlindungan diabaikan sepenuhnya," kata salah satu saksi mata.
Setelah diusir dari rumah sakit, pasien pria, termasuk yang terluka, diperintahkan berjalan menuju pos pemeriksaan yang berjarak dua jam perjalanan. Mereka diminta menanggalkan pakaian hingga pakaian dalam di tengah cuaca dingin.
"Mereka memukul saya dan orang-orang di sekitar saya, termasuk di bagian luka kami," cerita al-Aswad dengan suara bergetar.
Baca juga: Abu Safia: Dedikasi Seorang Dokter di Tengah Kepungan dan Penahanan di Gaza
Sesampainya di pos pemeriksaan, identitas mereka dicatat, foto diambil, dan nomor dituliskan di dada serta leher mereka. Sebagian pria kemudian dibawa untuk diinterogasi dengan kekerasan.
Shorouq al-Rantisi, seorang perawat di departemen laboratorium, menceritakan pengalaman pahitnya. Ia dan perempuan lain diperintahkan berjalan ke pos pemeriksaan yang sama dan menunggu selama berjam-jam dalam kondisi dingin.
"Kami bisa mendengar suara para lelaki dipukuli dan disiksa. Itu tak tertahankan," ujar al-Rantisi.
Lebih parah lagi, para perempuan dipaksa menjalani pemeriksaan yang merendahkan martabat. Tentara Israel berteriak dan memaksa mereka melepaskan jilbab serta pakaian mereka.
"Seorang tentara menarik kepala saya dan memaksa saya untuk membuka pakaian. Saya merasa dipermalukan," tambah al-Rantisi.
Setelah pemeriksaan yang traumatis, para perempuan akhirnya dibawa ke sebuah bundaran dan ditinggalkan begitu saja. Mereka dilarang kembali ke Beit Lahiya.
Baca juga: Israel Tahan Direktur RS Kamal Adwan Abu Safia, dan Bakar Rumah Sakit
Rumah Sakit Kamal Adwan telah mengalami pengeboman tanpa henti selama berminggu-minggu sebelum serbuan ini. Serangan artileri, drone quadcopter, dan rudal terus menghantam area rumah sakit.
"Generator listrik dan tangki air dihancurkan. Kami harus merawat pasien di tengah hujan tembakan," kenang al-Aswad.
Pada malam sebelum serangan besar itu, serangan yang mengerikan terjadi di gedung "al-Safeer," yang menampung sekitar 50 orang, termasuk beberapa perawat dari rumah sakit. Tidak ada satu pun yang berhasil diselamatkan.
Tragedi di Rumah Sakit Kamal Adwan bukan sekadar serangan biasa. Ini adalah simbol dari kegagalan dunia internasional dalam melindungi fasilitas medis dan warga sipil di Gaza.
"Bagaimana dunia bisa membiarkan ini terjadi? Seruan Dr. Hussam diabaikan, dan kami semua merasa dikhianati," kata al-Rantisi dengan nada getir.
Fadi al-Atawneh, seorang pasien yang terluka, menyuarakan rasa kecewanya. "Saya berharap Organisasi Kesehatan Dunia akan mengevakuasi kami. Tapi tidak ada yang datang. Kami ditinggalkan sendirian."
Setelah dibebaskan dari pos pemeriksaan, para korban berjalan melewati reruntuhan bangunan dalam kondisi kedinginan dan kelelahan. Beberapa penduduk Gaza yang tersisa akhirnya datang membantu mereka dengan selimut dan makanan seadanya.
Namun, luka fisik dan trauma psikologis akibat serangan ini akan sulit untuk disembuhkan.
"Lebih dari 60 hari kami hidup dalam pengeboman tanpa henti. Dunia hanya diam melihat kami menderita," tutup al-Aswad.
Tragedi Rumah Sakit Kamal Adwan bukan hanya tentang perang, tetapi tentang kemanusiaan yang diabaikan. Keheningan dunia internasional menambah luka bagi warga Gaza yang sudah kehilangan segalanya.
Hingga kini, seruan untuk gencatan senjata dan perlindungan fasilitas kesehatan di Gaza masih menggantung tanpa jawaban.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini