Sejarah Hari Kartini 21 April: Jejak Emansipasi Perempuan Indonesia dari Jepara
By Shandi March
19 Apr 2025
.jpeg)
Setiap 21 April, Indonesia tak pernah absen mengenang sosok Raden Ajeng Kartini. (Foto uici.ac.id)
LBJ - Setiap 21 April, Indonesia tak pernah absen mengenang sosok Raden Ajeng Kartini. Perempuan bangsawan asal Jepara ini menjadi simbol perjuangan kesetaraan yang jejaknya menembus zaman. Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal lahirnya sebagai Hari Besar Nasional.
Langkah itu bukan sekadar simbolis. Kartini memang membawa semangat besar di tengah budaya patriarki yang kala itu membungkam peran perempuan.
Profil Kartini
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari pasangan Raden Mas Sosriningrat, seorang bupati Jepara, dan MA Ngasirah. Latar belakang bangsawan memberinya akses ke pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS), sekolah khusus elite pribumi.
Namun, langkahnya terhenti di usia muda karena ia harus menjalani tradisi pingitan. Tak menyerah, Kartini tetap belajar secara otodidak dari rumah. Ia banyak membaca dan mulai menuangkan pikirannya dalam bentuk surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda.
Baca juga :BPJPH Jalin Diplomasi Halal Global, Sertifikasi Halal Indonesia Diakui Rusia
Melalui korespondensi dengan Rosa Abendanon dan lainnya, Kartini menyoroti berbagai isu sosial: pendidikan untuk perempuan, ketidakadilan budaya patriarki, hingga pernikahan paksa. Surat-surat itu akhirnya dibukukan oleh J.H. Abendanon dan terbit tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Balai Pustaka menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu pada 1922. Buku itu pun menjadi tonggak literasi emansipasi di Indonesia.
Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Sang suami justru mendukung niat Kartini untuk membuka sekolah perempuan. Sekolah itu berdiri di sebelah kompleks kantor kabupaten Rembang, dan kini menjadi Gedung Pramuka.
Baca juga Ledakan Tabung Gas di Cilincing Lukai 3 Orang, Termasuk Anak Usia 6 Tahun
“Di rumah orang tua saya dulu, saya sudah tahu banyak. Tetapi di sini, di mana suami saya bersama saya memikirkan segala sesuatu... maka saya jauh lebih banyak lagi menjadi tahu tentang hal-hal yang mula-mula tidak saya ketahui,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Rosa Abendanon.
Kartini melahirkan putra semata wayangnya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Namun, empat hari kemudian, ia wafat di usia 25 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Lebih dari satu abad setelah wafatnya, Kartini tetap relevan. Di era modern, perjuangan perempuan belum selesai. Isu kesetaraan upah, kekerasan berbasis gender, hingga representasi perempuan di ruang publik masih menjadi tantangan.
Peringatan Hari Kartini setiap tahun bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga momentum refleksi atas perjuangan yang masih terus berjalan.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini