Kasus Tom Lembong dan Impor Gula: Kebijakan atau Kriminalisasi?
By Shandi March
30 Oct 2024
Tom Lembong saat dijemput oleh aparat Kejaksaan Agung. (Foto:X@CakKhum)
LBJ - Penetapan status tersangka terhadap Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan 2015-2016, atas dugaan korupsi dalam impor gula menjadi perbincangan publik. Kasus ini kembali mengangkat isu tentang praktik impor gula yang dilakukan oleh beberapa menteri perdagangan terdahulu, yang tak pernah tersentuh kasus hukum serupa.
Sejumlah Menteri Perdagangan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi telah menerapkan kebijakan impor gula dalam beberapa periode untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berikut ini adalah data dari Divisi Riset XYZONEmedia.com terkait volume impor gula yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan di era Jokowi (2015-2024):
1. Tom Lembong (2015-2016): impor gula mencapai sekitar 5 juta ton.
2. Enggartiasto Lukita (2016-2019): total impor gula sebesar 15 juta ton.
3. Agus Suparmanto (2019-2020): impor gula sekitar 9,5 juta ton.
4. Muhammad Lutfi (2020-2022): total impor gula mencapai 13 juta ton.
5. Zulkifli Hasan (2022-2024): impor gula tertinggi dalam periode ini, sekitar 18 juta ton.
Baca juga : Dukungan Anies Baswedan untuk Tom Lembong: “I Still Have My Trust in You”
Kondisi ini memicu tuduhan bahwa pemerintah menggunakan instrumen hukum secara represif terhadap tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan atau memiliki potensi sebagai oposisi.
Kritik muncul dari berbagai kalangan, termasuk dalam sebuah cuitan dari akun X @Vincetrcrd, yang menyoroti bahwa Indonesia telah menandatangani GATT Agreement dan seharusnya tidak menerapkan pembatasan kuantitatif dalam impor gula.
“Fucking stupid. Tersangka korupsi karena pemberian izin impor gula? INDONESIA SUDAH tandatangani GATT & WTO Agreement dan EMANG GAK BOLEH ada quantitative restrictions on tariffs and trade. This is plain stupid and obviously criminalization of Tom Lembong,” tulisnya.
Dari sisi regulasi, Indonesia memang terikat pada kesepakatan internasional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), yang melarang pembatasan kuantitatif pada perdagangan internasional. Dengan kata lain, tindakan Tom Lembong dalam pemberian izin impor gula seharusnya berada dalam konteks kebijakan perdagangan yang mengikuti ketentuan perjanjian GATT dan WTO.
Pejabat Negara Lain yang Terjerat Kasus Kebijakan
Kasus penetapan status tersangka terhadap pejabat negara atas dasar kebijakan bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, kasus yang menimpa Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina, juga menyita perhatian publik.
Karen divonis bersalah oleh KPK terkait kebijakan investasi pada proyek Liquefied Natural Gas (LNG) yang dianggap merugikan negara. Kasus ini menimbulkan perdebatan karena keputusan yang diambil Karen bersifat kebijakan strategis, yang seharusnya melalui persetujuan pemangku kepentingan lebih luas di Pertamina dan pemerintah.
Banyak yang menilai bahwa kasus Karen menunjukkan pola kriminalisasi pejabat yang mengambil kebijakan dalam ranah bisnis negara. Penahanan Karen menjadi salah satu contoh bagaimana pejabat yang bertindak sesuai visi bisnis BUMN rentan terkena masalah hukum, terutama ketika arah kebijakan tersebut menghadapi tantangan politik atau dianggap merugikan secara finansial dalam jangka pendek.
Para pejabat negara tidak hanya menghadapi tantangan hukum, tetapi juga risiko dicap sebagai oposisi jika kebijakan tersebut berseberangan dengan kepentingan penguasa. Sebagian kalangan menilai bahwa pendekatan hukum seperti ini dapat mematikan inovasi dan keberanian para pejabat dalam mengambil kebijakan ekonomi yang mungkin berisiko namun strategis.
Baca juga : Kasus Impor Gula Rugikan Negara Rp400 Miliar, Kejagung Tahan Tom Lembong
Penerapan GATT dalam Kasus Tom Lembong
GATT, atau General Agreement on Tariffs and Trade, adalah perjanjian multilateral yang bertujuan untuk mempromosikan perdagangan internasional bebas dan adil. Perjanjian ini menuntut negara anggota, termasuk Indonesia, untuk tidak menerapkan pembatasan kuantitatif, seperti kuota impor, yang dapat membatasi aliran perdagangan barang.
Jika kebijakan impor gula yang diambil Tom Lembong ditetapkan sesuai dengan kerangka GATT dan WTO, keputusan tersebut seharusnya dilindungi sebagai bagian dari regulasi perdagangan internasional yang telah disepakati.
Namun, penerapan peraturan internasional dalam kasus Tom menjadi kabur ketika kepentingan politik domestik mengintervensi. Hal ini mengundang kritik bahwa langkah hukum yang diambil terhadap Tom Lembong merupakan bentuk represif terhadap tokoh yang dianggap potensial sebagai oposisi.
Kasus ini menambah daftar panjang pejabat yang diseret ke ranah hukum atas dasar kebijakan, sebuah situasi yang dapat menciptakan iklim ketakutan di kalangan pejabat publik.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini