Joko Widodo: Dari Harapan Rakyat ke Kontroversi Keluarga di Ujung Kekuasaan
By Priya Husada
07 Oct 2024
Kampanye Akbar Pendukung Jokowi di GBK Tahun 2014 (foto: koleksi pribadi)
Lensa Berita Jakarta - Joko Widodo, Presiden Indonesia yang pernah dijuluki sebagai simbol "Harapan Baru", kini menghadapi badai kritik di akhir masa jabatannya. Di tengah pencapaian besar di bidang ekonomi dan infrastruktur, popularitas Jokowi mengalami guncangan karena tuduhan nepotisme dan gaya hidup mewah keluarganya. Meski begitu, dukungannya tetap kuat, dengan persentase kepuasan mencapai 75%, pada bulan Oktober 2024 ini yang walaupun menurun dari 82% pada puncaknya di pertengahan 2024.
Kontroversi Dinasti Politik dan Kritik Publik
Setelah hampir sepuluh tahun memimpin Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) kini terjebak dalam pusaran kontroversi politik yang tajam. Awalnya dielu-elukan sebagai "Harapan Baru" karena latar belakangnya yang sederhana, kini citra tersebut memudar di tengah tuduhan nepotisme. Keputusan yang melibatkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang baru terpilih sebagai Wakil Presiden, menjadi salah satu pemicu. Publik mempertanyakan perubahan mendadak dalam aturan usia minimum untuk pejabat daerah, yang diduga dimanipulasi demi kepentingan keluarga.
Meski Jokowi telah meminta maaf, banyak pihak merasa bahwa permintaan maaf tersebut tidak memadai. Dukungan yang dulu begitu kuat kini mulai luntur. Seiring berjalannya waktu, rakyat semakin skeptis terhadap motif keluarga Jokowi dalam politik, dan hal ini sangat memengaruhi penurunan popularitas sang presiden. Pada survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, popularitas Jokowi jatuh 7 poin dari 82% pada Juli menjadi 75% pada Oktober, angka terendah sepanjang tahun ini.
Gaya Hidup Mewah di Tengah Ketimpangan
Di tengah-tengah rakyat yang masih berjuang menghadapi ketimpangan sosial, keluarga Jokowi justru disorot karena gaya hidup mewah mereka. Kaesang Pangarep, putra bungsunya, yang juga merupakan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi pusat kontroversi setelah menggunakan jet pribadi Gulfstream G650ER ke Amerika Serikat, dengan biaya sewa sekitar 300 juta rupiah per jam. Gaya hidup ini kontras dengan kenyataan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia menurun hampir 10 juta orang antara tahun 2019 hingga 2024.
Tak berhenti di situ, istri Kaesang, Erina Gudono, yang baru diterima di Universitas Pennsylvania dengan beasiswa, juga menjadi sasaran kritik publik. Masyarakat memprotes, menyatakan bahwa keluarga Gudono sudah cukup kaya untuk tidak perlu mengandalkan beasiswa. Aksi ini semakin memperjelas betapa kecewanya rakyat Indonesia terhadap keluarga Jokowi, yang dianggap tidak berbeda dari elit politik lainnya yang sering kali memanfaatkan posisi dan aturan demi kepentingan pribadi. Tidak heran jika kemarahan publik ini turut berkontribusi pada penurunan popularitas Jokowi yang semakin terasa.
Gaya hidup ini kontras dengan kenyataan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia menurun hampir 10 juta orang antara tahun 2019 hingga 2024.
Pencapaian Ekonomi yang Tetap Kuat di Tengah Guncangan
Namun, di balik semua kontroversi ini, tak dapat dipungkiri bahwa Jokowi tetap meninggalkan jejak prestasi yang signifikan. Selama masa jabatannya, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5%, dan lebih dari 2.700 km jalan tol baru telah dibangun. Namun, meski dengan pencapaian tersebut, bagi banyak rakyat Indonesia, kontroversi yang melibatkan keluarganya dan tuduhan nepotisme mungkin lebih diingat. Bahkan, nama kecil Jokowi, Mulyono, kini sering disebut oleh para pengkritiknya di media sosial sebagai bentuk “kutukan” atau protes. Nama tersebut diubah ketika ia masih kecil, dengan harapan bisa membawa kesehatan dan keberuntungan, namun kini digunakan untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap kepemimpinannya.
Jokowi, yang dikenal sebagai presiden pertama Indonesia yang tidak berasal dari kalangan militer atau elit politik, menghadapi masa-masa sulit di akhir masa jabatannya, apalagi ketika ia tidak sejalan lagi dengan partai pengusungnya PDIP ketika Pilpres 2024 lalu. Popularitasnya turun setelah upaya sekutunya untuk mengubah aturan pemilihan gagal, di mana undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memungkinkan putra bungsunya mencalonkan diri sebagai wakil gubernur.
Meskipun popularitasnya menurun, Jokowi tetap lebih populer daripada kebanyakan pemimpin Indonesia selama 10 tahun terakhir. Bahkan, di awal tahun 2024, tingkat kepuasan terhadapnya mencapai 79% hingga 80%, menunjukkan dukungan kuat di kalangan masyarakat. Salah satu alasan mengapa banyak orang masih mendukung Jokowi adalah keberhasilannya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mengelola inflasi dengan baik.
Pengaruh Politik Setelah Kepemimpinan
Pada 20 Oktober 2024, Jokowi akan menyerahkan jabatan presiden kepada mantan rivalnya, Prabowo Subianto, yang memenangkan pemilihan presiden Februari lalu. Dukungan Jokowi terhadap Prabowo dianggap sebagai strategi untuk mempertahankan pengaruh politiknya di masa depan.
Meskipun masa depannya dalam politik belum pasti, banyak yang percaya bahwa Jokowi masih memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi arah politik Indonesia di masa depan apalagi didukung oleh banyak elemen setia organisasi para relawannya yang dulu menghantarkannya ke puncak eksekutif semacam PROJO, SOLMET, BaraJP, Duta Jokowi dan lainnya. Sementara itu, meskipun ia menghadapi kritik tajam, mayoritas rakyat Indonesia masih melihat kepemimpinan Jokowi secara positif, terutama karena keberhasilannya dalam menjaga perekonomian tetap stabil.
Apakah Jokowi akan dikenang sebagai pemimpin visioner yang membawa Indonesia menuju pembangunan infrastruktur besar-besaran, atau justru sebagai figur yang terjebak dalam polemik dinasti politik? Jawaban atas pertanyaan ini akan tergantung pada bagaimana publik dan sejarah menilai warisan politiknya di tahun-tahun mendatang dan apakah dukungan yang masih kuat di organ relawannya dapat dikonversi untuk sebuah partai politik?.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini