Kontroversi RUU Penyiaran: Polemik Kebebasan Pers dan Kewenangan Dewan Pers
By Shandi March
29 May 2024
Deprecated: htmlspecialchars(): Passing null to parameter #1 ($string) of type string is deprecated in /home/lbjjakarta/public_html/post.php on line 221
[caption id="attachment_3670" align="alignnone" width="719"] Ratusan jurnalis gabungan beberapa aliansi, demo di DPR RI minta DPR menunda pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran. (Foto:Dayat)[/caption]
LBJ - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai banyak kontroversi. Pembahasan RUU ini berpotensi ditunda karena dua pasal yang dianggap mengekang kebebasan pers dan kewenangan Dewan Pers.
Upaya DPR RI melakukan revisi RUU Penyiaran, menuai kritik tajam dari berbagai pihak terkait poin-poin kontroversial dalam RUU tersebut.
Badan Legislasi DPR mungkin menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan bahwa fraksinya, Gerindra, telah meminta untuk menghentikan sementara pembahasan RUU tersebut.
"Saya sampaikan ke teman-teman semua, dari fraksi kami, sudah memerintahkan kepada saya untuk sementara tidak membahas RUU Penyiaran," kata Supratman di kompleks parlemen, Senin (28/5).
Penundaan ini terkait dengan adanya kritik tajam dari berbagai pihak, terutama Dewan Pers, yang merasa beberapa poin dalam RUU tersebut bisa membatasi kebebasan pers dan menghasilkan produk jurnalistik yang tidak berkualitas.
Baca juga : Tukang Sate Jadi Pengusaha Sukses: Merantau Pakai Kereta, Mudik Pakai Mercy Coupe
Salah satu poin yang mendapat sorotan adalah usulan larangan penayangan karya jurnalistik investigasi. Menurut Dewan Pers, aturan ini bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang melindungi kebebasan jurnalistik.
Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, menyatakan bahwa pihaknya tidak berniat mengecilkan peran media massa dengan RUU ini. "Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran Pers," jelas Meutya dalam keterangan tertulis, Kamis (16/5).
Namun, Dewan Pers tetap merasa khawatir bahwa pasal ini dapat mengganggu kebebasan pers yang sudah dilindungi oleh hukum yang ada saat ini .
Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyatakan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
[caption id="attachment_3637" align="alignnone" width="662"] Sejumlah jurnalis televisi bentangkan poster tolak RUU pers yang sedang digodok DPR RI.(Foto:Dayat)[/caption]
Klausul ini dianggap bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan tersebut kepada Dewan Pers. Salah satu tugas utama Dewan Pers adalah mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dalam konteks ini, Dewan Pers menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa pers seharusnya tetap berada di bawah yurisdiksi mereka untuk memastikan independensi dan integritas pers tetap terjaga .
Senada dengan Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menyatakan menolak isi RUU Penyiaran yang dihasilkan Badan Legislasi DPR RI.
“Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan menjadi lembaga super power jika Pasal 42 dalam RUU itu diloloskan, karena dinyatakan menjadi lembaga penyelesai sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran, dan jelas perlu ditolak karena ada conflict interest dengan mengambil kewenangan Dewan Pers yang diatur dalam UU Pers," jelas Dewan Penasihat PWI Jaya, Theo Muhammad Yusuf saat dikonfirmasi (29/5/2024).
Baca juga : Hadiri Inaugurasi GP Ansor 2024, Presiden Jokowi Diberikan Gelar Pahlawan Indonesiasentris
Ratusan jurnalis, yang tergabung dalam Koalisi lintas organisasi jurnalis Tolak RUU Penyiaran menggelar aksi protes di depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa (28/5/2024). Mereka menuntut pembatalan RUU Penyiaran yang dianggap merugikan kebebasan pers dan hak asasi manusia.
Aksi ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap RUU Penyiaran tidak hanya datang dari kalangan pers, tetapi juga dari masyarakat luas yang peduli akan kebebasan berekspresi dan hak-hak demokratis lainnya .***
LBJ - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai banyak kontroversi. Pembahasan RUU ini berpotensi ditunda karena dua pasal yang dianggap mengekang kebebasan pers dan kewenangan Dewan Pers.
Upaya DPR RI melakukan revisi RUU Penyiaran, menuai kritik tajam dari berbagai pihak terkait poin-poin kontroversial dalam RUU tersebut.
Gerindra Usul Tunda Pembahasan RUU Penyiaran
Badan Legislasi DPR mungkin menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan bahwa fraksinya, Gerindra, telah meminta untuk menghentikan sementara pembahasan RUU tersebut.
"Saya sampaikan ke teman-teman semua, dari fraksi kami, sudah memerintahkan kepada saya untuk sementara tidak membahas RUU Penyiaran," kata Supratman di kompleks parlemen, Senin (28/5).
Penundaan ini terkait dengan adanya kritik tajam dari berbagai pihak, terutama Dewan Pers, yang merasa beberapa poin dalam RUU tersebut bisa membatasi kebebasan pers dan menghasilkan produk jurnalistik yang tidak berkualitas.
Baca juga : Tukang Sate Jadi Pengusaha Sukses: Merantau Pakai Kereta, Mudik Pakai Mercy Coupe
Penolakan Terhadap Larangan Jurnalistik Investigasi
Salah satu poin yang mendapat sorotan adalah usulan larangan penayangan karya jurnalistik investigasi. Menurut Dewan Pers, aturan ini bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang melindungi kebebasan jurnalistik.
Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, menyatakan bahwa pihaknya tidak berniat mengecilkan peran media massa dengan RUU ini. "Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran Pers," jelas Meutya dalam keterangan tertulis, Kamis (16/5).
Namun, Dewan Pers tetap merasa khawatir bahwa pasal ini dapat mengganggu kebebasan pers yang sudah dilindungi oleh hukum yang ada saat ini .
Kewenangan KPI dalam Penyelesaian Sengketa Jurnalistik
Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyatakan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
[caption id="attachment_3637" align="alignnone" width="662"] Sejumlah jurnalis televisi bentangkan poster tolak RUU pers yang sedang digodok DPR RI.(Foto:Dayat)[/caption]
Klausul ini dianggap bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan tersebut kepada Dewan Pers. Salah satu tugas utama Dewan Pers adalah mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dalam konteks ini, Dewan Pers menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa pers seharusnya tetap berada di bawah yurisdiksi mereka untuk memastikan independensi dan integritas pers tetap terjaga .
Senada dengan Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menyatakan menolak isi RUU Penyiaran yang dihasilkan Badan Legislasi DPR RI.
“Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan menjadi lembaga super power jika Pasal 42 dalam RUU itu diloloskan, karena dinyatakan menjadi lembaga penyelesai sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran, dan jelas perlu ditolak karena ada conflict interest dengan mengambil kewenangan Dewan Pers yang diatur dalam UU Pers," jelas Dewan Penasihat PWI Jaya, Theo Muhammad Yusuf saat dikonfirmasi (29/5/2024).
Baca juga : Hadiri Inaugurasi GP Ansor 2024, Presiden Jokowi Diberikan Gelar Pahlawan Indonesiasentris
Aksi Penolakan di DPR RI
Ratusan jurnalis, yang tergabung dalam Koalisi lintas organisasi jurnalis Tolak RUU Penyiaran menggelar aksi protes di depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa (28/5/2024). Mereka menuntut pembatalan RUU Penyiaran yang dianggap merugikan kebebasan pers dan hak asasi manusia.
Aksi ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap RUU Penyiaran tidak hanya datang dari kalangan pers, tetapi juga dari masyarakat luas yang peduli akan kebebasan berekspresi dan hak-hak demokratis lainnya .***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini