Walhi Bongkar Deforestasi Masif Sumut Lewat Citra Satelit, Bantah Klaim Bobby soal Cuaca Ekstrem

By Shandi March
02 Dec 2025
Penampakan Hutan Sumatra di Google Earth. (X@yaniarsim)
LBJ — Rekaman citra satelit selama hampir satu dekade kembali memantik perdebatan besar soal kondisi hutan di Sumatra Utara. Data visual dari 2016 hingga 2025 menunjukkan pola pembukaan lahan yang massif dan terus meluas, sementara organisasi lingkungan menilai kerusakan itu menjadi penyebab utama banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah dalam beberapa pekan terakhir.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara menilai dugaan kerusakan hutan tidak bisa dianggap ringan. Mereka mencatat 2 ribu hektare hutan rusak dalam sepuluh tahun terakhir. Temuan itu membuat Walhi membantah pernyataan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang sebelumnya menyebut banjir dipicu cuaca ekstrem.
“Perusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatra Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi non-hutan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, Senin (1/12).
Baca juga : Toba Pulp Bantah Jadi Biang Kerok Banjir Sumatra, Ini Penjelasannya
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan YLBHI Regional Barat turut menguatkan dugaan Walhi. Mereka menyampaikan bahwa longsor dan banjir tak bisa dilepaskan dari krisis iklim yang memburuk akibat deforestasi, ekspansi perkebunan, tambang, serta masifnya izin konsesi.
“Hal demikian menunjukkan gagalnya Pemerintah dalam tata kelola kawasan hutan yang semrawut dengan memberikan atau setidaknya mempermudah izin-izin usaha perkebunan, pertambangan dan juga maraknya alih fungsi lahan demi proyek PLTA yang tersebar di berbagai titik di wilayah Sumatra,” tulis LBH dalam keterangannya.
LBH menyebut dari 2020 hingga 2024, ratusan ribu hektare hutan di Sumatra Barat ikut hilang. Kerusakan ini bahkan tampak jelas dari citra satelit, termasuk di kawasan yang seharusnya steril seperti Taman Nasional Kerinci Seblat.
Tambang ilegal, aktivitas pembalakan liar, serta pembukaan lahan besar-besaran mempercepat hilangnya tutupan hutan. Kondisi ini membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga setiap curah hujan tinggi otomatis berubah menjadi gelombang banjir yang menghantam permukiman warga. Kota Padang menjadi salah satu contohnya.
Baca juga : Koalisi Sipil Minta Prabowo Tetapkan Darurat Nasional untuk Banjir Besar Sumatra
Desakan Evaluasi Total Perizinan
LBH meminta pemerintah pusat turun tangan langsung dan menghentikan seluruh ekspansi industri ekstraktif sampai proses evaluasi dilakukan.
“Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR BPN, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup juga harus bertanggung jawab guna memastikan tidak terulangnya kembali peristiwa ini dengan segera melakukan evaluasi total dan moratorium atau penangguhan izin baru terhadap industri ekstraktif,” tegas LBH.
Di sisi lain, bencana banjir bandang dan longsor terus memakan korban. Berdasarkan data BNPB hingga Selasa (2/12) pagi, 604 jiwa meninggal dunia. Provinsi Sumatera Utara menjadi yang paling terdampak dengan 283 korban, disusul Sumatra Barat 165 orang, dan Aceh 156 orang.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini
