×
image

Mahasiswa Udayana, Bully, dan Kampus yang Tak Lagi Aman untuk Bernapas

  • image
  • By Priya Husada

  • 17 Oct 2025

Mahasiswa Universitas Udayana tewas diduga akibat perundungan

Mahasiswa Universitas Udayana tewas diduga akibat perundungan


Tragedi di Udayana bukan cuma soal kematian seorang mahasiswa, tapi soal bagaimana empati di kampus bisa mati lebih dulu.


LBJ - Rabu pagi, 15 Oktober 2025, sekitar pukul 09.00 WITA, seorang mahasiswa Universitas Udayana berinisial T.A.S. (22 tahun) ditemukan meninggal setelah melompat dari gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Kampus Sudirman, Denpasar. Ia sempat dirundung oleh teman-temannya sendiri. Dan yang paling ironis, setelah tragedi itu, beberapa mahasiswa lintas fakultas malah menjadikannya bahan lelucon di media sosial.

Di dunia yang katanya “kampus unggulan”, seorang mahasiswa kehilangan hidupnya di tempat yang seharusnya jadi ruang tumbuhnya. Tapi yang bikin perih bukan cuma peristiwa jatuhnya itu, melainkan apa yang terjadi sesudahnya.

Alih-alih duka, beberapa mahasiswa dari fakultas lain malah berkomentar dengan tawa, membagikan ulang foto korban yang tergeletak, seolah tragedi manusia bisa jadi bahan candaan. Ada yang ngetik “auto DO,” ada yang pakai emoji ngakak, ada yang malah bilang “nggak kuat skripsi.” Mereka bukan orang asing. Mereka juga mahasiswa. Mungkin duduk di kelas yang sama, mungkin suatu hari akan jadi sarjana yang katanya terdidik.

Para Mahasiswa Universitas Udayana, Bali yang meminta maaf atas komentarnya di media sosial yang melecehkan korban.

Ironinya di situ. Mereka belajar teori komunikasi, sosiologi, hukum, psikologi—tapi gagal memahami hal paling dasar: empati.

Setiap kali ada tragedi seperti ini, orang ramai bertanya, “kok bisa sih sampai segitu?” Padahal jawabannya sering kali sederhana dan menyakitkan: dia lelah. Lelah bukan karena tugas, tapi karena nggak ada ruang aman buat bercerita.

Kampus selalu sibuk bicara tentang prestasi, inovasi, kolaborasi, tapi jarang banget bicara tentang rasa aman. Aman buat gagal, aman buat nangis, aman buat bilang “aku nggak baik-baik aja” tanpa takut ditertawakan.

Tragedi di Udayana bukan cuma soal kematian, tapi soal diamnya banyak orang. Karena di sekitar korban, mungkin ada teman-teman yang tahu ia mulai menarik diri, mulai kehilangan arah, tapi nggak tahu harus berbuat apa. Di kelas, ia masih senyum, masih ngerjain tugas, tapi di kepalanya, dunia udah keburu gelap.

Kalimat “Ia tidak ingin mati, ia hanya ingin rasa sakitnya berhenti” itu bukan puitis. Itu real. Kadang orang nggak pengin mati, cuma pengin berhenti ngerasa hancur terus-terusan. Tapi di sekitar mereka justru banyak yang bilang, “Ah, kurang bersyukur,” atau “Yang lain juga susah lho.” Padahal yang dibutuhkan cuma satu hal sederhana: didengar tanpa dihakimi.

Bayangin, di zaman yang katanya serba connected, orang bisa dapet likes ribuan di Instagram tapi nggak punya satu pun yang benar-benar mau denger ceritanya. Kita sibuk saling pamer pencapaian, lupa kalau nggak semua orang kuat menahan tekanan itu sendirian.

Dan di tengah itu, korban malah dirundung. Bukan cuma sebelum ia pergi, tapi bahkan setelah ia meninggal. Dunia maya yang katanya bebas berekspresi malah berubah jadi pasar ejekan. Kampus yang mestinya tempat aman malah terasa seperti labirin, di mana setiap langkah bisa disalahartikan, setiap kesedihan bisa jadi bahan tawa.

Unud akhirnya menjatuhkan sanksi buat beberapa mahasiswa yang kedapatan menyebar foto korban dan menulis komentar tak pantas. Tapi mari jujur, masalah ini nggak akan selesai cuma dengan surat peringatan. Karena yang rusak bukan cuma perilaku individu, tapi sistem yang membiarkan ketidakpekaan tumbuh subur.

Kadang kita lupa, kampus bukan cuma tempat belajar teori, tapi tempat belajar jadi manusia. Dan manusia itu nggak bisa hidup cuma dengan IPK tinggi. Dia butuh ruang aman buat salah, buat didengar, buat merasa bahwa dirinya cukup.

Jadi kalau suatu hari ada temanmu bilang, “Aku capek hidup,” tolong jangan langsung jawab, “Kamu kurang bersyukur.” Duduk aja dulu. Dengerin. Kadang satu telinga yang mau denger lebih menyelamatkan daripada seribu nasihat bijak.

Kesehatan mental bukan tanda lemah. Justru mereka yang berani jujur tentang rasa sedihnya itu yang paling berani. Karena ngaku rapuh di dunia yang menuntut kuat itu butuh nyali lebih besar dari apa pun.

Kita semua bisa mulai dari hal kecil. Berhenti ngetawain orang yang beda. Berhenti nge-ghosting teman yang mulai aneh. Berhenti ngelucu pakai penderitaan orang. Kadang satu percakapan kecil, satu “Kamu nggak apa-apa?”, bisa jadi alasan seseorang buat bertahan.

Kampus seharusnya bukan tempat orang takut datang. Bukan tempat orang takut salah. Dan bukan tempat seseorang memilih mati karena sudah kehabisan cara untuk hidup.

Mari mulai dari sekarang, jadi manusia yang mau hadir. Karena satu percakapan bisa nyelametin satu kehidupan.(*)


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Tags:


Popular Post