×
image

Cucu Bung Hatta Kritik Presiden dan Wapres di Upacara RI ke-80 Sebagai “Presiden Penculik, Wakil Anak Haram Konstitusi”

  • image
  • By Priya Husada

  • 19 Aug 2025

Gustika Jusuf Hatta

Gustika Jusuf Hatta


LBJ - Upacara peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia di Istana Negara berlangsung meriah, tetapi tidak semua orang hadir dengan hati yang sama. Gustika Jusuf Hatta, cucu proklamator Mohammad Hatta, memilih kebaya hitam dan batik slobog. Di Instagram ia menulis, “Take this as a silent protest, if you will.” Dari situlah muncul pertanyaan: apa makna politik dari simbol ini, dan mengapa ia sarat dengan paradoks?

Simbol pakaian sebagai bentuk kritik

Dalam budaya Jawa, slobog adalah kain berkabung. Biasanya dikenakan saat upacara pemakaman, melambangkan pelepasan sekaligus doa. Gustika sengaja membawanya ke ruang publik, mengubah pakaian duka menjadi medium protes. Ia menulis: “Berkabung bukan berarti putus asa; dan merayakan bukan berarti menutup mata.”

Pakaian menjadi artikulasi politik. Ia memperlihatkan bahwa busana bisa menjadi bahasa untuk mengingatkan negara tentang luka pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang terus berulang.

Paradox kehadiran: bagian dari upacara, tapi menolak penguasa

Paradoks pertama terlihat dari keputusannya hadir di Istana. Kehadirannya mengakui simbol negara, namun pernyataannya menolak legitimasi pemimpin yang sedang berkuasa. Di satu sisi, ia ikut serta dalam ritual kemerdekaan. Di sisi lain, ia menulis dengan tajam: “Kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi.”

Paradox bahasa: membela konstitusi dengan istilah yang kontroversial

Paradoks kedua hadir dalam penggunaan bahasa. Gustika ingin menegaskan rusaknya legitimasi hukum, tetapi istilah “anak haram konstitusi” sarat stigma. Kritik itu menantang konstitusi yang dianggap dilecehkan, namun secara bersamaan bisa dipersoalkan karena menyinggung norma nondiskriminasi yang juga bagian dari nilai HAM.

Paradox tradisi: warisan Jawa untuk pesan progresif

Ia menulis bahwa tindakannya juga bagian dari cara merangkul 1/8 darah Jawa yang diwarisi. Tradisi yang biasanya dipahami sebagai simbol konservatif justru dipakai sebagai pernyataan progresif. Batik slobog di sini menjadi bahasa yang menghubungkan duka pribadi dengan duka bangsa.

Konteks historis: Hatta dan Sukarno

Jejak sejarah kakeknya menambah bobot pada simbol ini. Mohammad Hatta pernah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1956 karena tidak sejalan dengan gaya kepemimpinan Sukarno. Meski berseberangan secara politik, Hatta dan Sukarno tetap menjaga hubungan pribadi dan mengakui satu sama lain sebagai sahabat sekaligus proklamator.

Kontras dengan itu, sikap Gustika lebih keras. Ia tidak hanya berseberangan, tetapi secara eksplisit menyebut pemerintah sebagai pengkhianat konstitusi dan HAM.

Antara duka dan harapan

Gustika menutup pernyataannya dengan kalimat, “Dukaku lahir dari rasa cinta yang mendalam pada Republik ini.” Ia menolak penguasa, tetapi tetap merayakan Republik. Ia berduka, tetapi tetap menanam harapan. Paradoks ini memperlihatkan dilema yang lebih besar: bagaimana menjaga kritik agar tidak merusak legitimasi demokrasi itu sendiri.

Simbolisme sebagai arena politikDalam studi politik, simbol tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan arena utama perebutan makna. Apa yang dilakukan Gustika memperlihatkan bagaimana generasi muda mengartikulasikan kritik bukan hanya lewat demonstrasi, melainkan lewat bahasa budaya, tradisi, dan simbol personal.

Paradoks yang lahir dari tindakannya juga membuka diskusi penting: apakah demokrasi Indonesia cukup dewasa untuk menerima kritik keras di ruang-ruang simbolik negara, atau justru semakin alergi pada perbedaan suara.(*)


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Tags:


Popular Post