CSR Bank Indonesia dan OJK: Ketika Politik Masuk Terang-Terangan ke Program Sosial
By Priya Husada
12 Aug 2025

Dugaan penyalahgunaan dana CSR Bank Indonesia dan OJK menyeret anggota DPR
LBJ - Corporate Social Responsibility (CSR) idealnya menjadi instrumen dukungan sosial yang independen, transparan, dan diarahkan untuk manfaat publik. Dalam praktik Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tujuan itu kini dipertanyakan.
KPK tengah menyelidiki dugaan penyalahgunaan dana CSR kedua lembaga tersebut yang melibatkan anggota DPR, khususnya Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan. Dua anggota DPR—Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (NasDem)—sudah ditetapkan sebagai tersangka. Heri diduga menerima Rp 15,86 miliar, sedangkan Satori sekitar Rp 12,52 miliar. Dana itu mengalir lewat yayasan dan digunakan untuk keperluan pribadi, mulai dari pembelian tanah, kendaraan, hingga pembangunan usaha.
Hubungan BI dan OJK dengan DPR: titik kepentingan yang saling bersinggungan
Interaksi BI dan OJK dengan DPR tidak hanya terjadi pada momen sidang laporan tahunan. Ada kepentingan struktural yang membuat hubungan ini sensitif. Pertama, persetujuan anggaran: meskipun BI dinyatakan independen dalam undang-undang, rancangan anggaran operasionalnya tetap dibahas bersama Komisi XI. OJK, meski dibiayai iuran industri keuangan, tetap membawa program seperti CSR untuk disetujui kuotanya. Kedua, fungsi pengawasan: BI dan OJK wajib memberikan laporan kinerja, yang sering menjadi ajang masukan dan tekanan dari anggota DPR terkait kebijakan moneter, perbankan, dan perlindungan konsumen. Ketiga, pembahasan undang-undang: DPR memiliki peran penting dalam merancang atau merevisi regulasi yang mempengaruhi kewenangan BI dan OJK, seperti UU P2SK. Keempat, akses ke program sosial: CSR menjadi salah satu jalur hubungan informal, di mana rekomendasi anggota DPR dapat memengaruhi arah bantuan, meski secara formal dana disalurkan langsung ke penerima.
Mekanisme yang memberi ruang intervensi
Dalam penjelasan anggota Komisi XI Fraksi Golkar, Melchias Markus Mekeng, anggota DPR tidak memegang dana CSR secara langsung. Peran mereka sebatas menyampaikan rekomendasi ke BI atau OJK—misalnya untuk pembangunan masjid atau bantuan UMKM—dan pencairan dilakukan langsung ke penerima. Tetapi mekanisme ini membuka ruang politik yang luas: siapa yang direkomendasikan, lembaga apa yang dibantu, dan proyek mana yang diutamakan semuanya bergantung pada komunikasi informal antara legislator dan lembaga keuangan.
KPK menduga jalur rekomendasi inilah yang kemudian dimanfaatkan. Yayasan yang terhubung dengan anggota DPR menjadi perantara penyaluran dana. Secara formal terlihat sebagai program sosial, tetapi secara substantif menjadi pintu masuk pengaruh politik dan distribusi patronase.
Kontras dengan bank sentral negara lain
Bila dibandingkan, model CSR di sejumlah bank sentral lain lebih ketat dari sisi akuntabilitas. Bank Sentral Irlandia, misalnya, menempatkan CSR dalam kerangka kebijakan resmi yang dipublikasikan terbuka. Programnya meliputi edukasi keuangan, dukungan lingkungan, dan keterlibatan karyawan, dengan laporan tahunan yang memuat semua penerima dan nilai bantuan. Tidak ada kanal khusus bagi politisi untuk mengintervensi.
Bank Sentral Trinidad dan Tobago memiliki program “Adopt-A-School” dan pendanaan komunitas, diatur lewat proposal terbuka dan dievaluasi tim internal. Penyaluran dilakukan langsung oleh bank sentral tanpa melibatkan pejabat politik.
Pendekatan seperti ini menjaga dua hal: transparansi penggunaan dana publik dan independensi institusi dari tarik-menarik kepentingan.
Pelajaran dari tekanan politik global
Intervensi politik terhadap bank sentral bukan hanya terjadi lewat program CSR. Di Eropa, Presiden ECB Christine Lagarde mendapat tekanan agar bank sentral aktif dalam agenda iklim, memicu perdebatan internal tentang batas mandat moneter. Di Brasil, Presiden Lula mendesak bank sentral menurunkan suku bunga demi pertumbuhan, sementara di AS, The Fed diingatkan publik untuk tidak masuk ke kebijakan iklim tanpa mandat legislatif.
Kasus Indonesia menunjukkan varian yang berbeda: intervensi politik bukan pada kebijakan moneter, melainkan pada program sosial yang seharusnya steril dari kepentingan partai. Dampaknya tak kalah serius, karena melemahkan persepsi independensi dan menggerus kepercayaan publik.
Risiko jangka panjang
Jika praktik ini dibiarkan, CSR bank sentral dan regulator keuangan akan menjadi instrumen patronase politik. Program yang dirancang untuk memberi manfaat luas bisa berubah menjadi alat distribusi sumber daya ke jaringan politik tertentu. Dalam jangka panjang, ini mempersempit basis penerima manfaat, mengalihkan dana dari kelompok rentan ke kelompok yang punya akses politik, dan memperburuk ketimpangan.
Pengalaman negara lain menunjukkan, membangun tembok tebal antara lembaga keuangan independen dan aktor politik adalah prasyarat mutlak. Transparansi, prosedur seleksi terbuka, dan pelaporan publik yang detail adalah mekanisme dasar yang harus ada. Tanpa itu, setiap rupiah yang keluar dari program CSR akan selalu dibayangi pertanyaan: ini bantuan publik, atau modal politik terselubung?(*)
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini