×
image

Joao Mota dan Catatan Kegagalan Awal Era Prabowo

  • image
  • By Priya Husada

  • 12 Aug 2025


XYZonemedia - Enam bulan bukan waktu yang panjang untuk mengubah wajah pangan Indonesia. Tapi bagi Joao Angelo de Sousa Mota, enam bulan cukup untuk menyimpulkan bahwa mimpi besar Presiden terpilih Prabowo Subianto soal kedaulatan pangan terancam jadi bahan arsip, bukan kenyataan.

Pria yang pernah dipercaya memimpin PT Agrinas Pangan Nusantara ini akhirnya memilih langkah mundur. Bukan karena lelah, tapi karena frustrasi. Dalam konferensi pers yang nadanya lebih mirip pernyataan band rock yang bubar di tengah tur, Joao menembakkan kritik tajam: Danantara — holding besar yang mengurusi proyek pangan strategis — disebutnya menghambat gerak, membiarkan anggaran nol rupiah, dan merantai inovasi lewat birokrasi berlapis-lapis.

Dari Ideal ke Realitas Pahit

Joao masuk dengan semangat membangun lumbung pangan masa depan. Visi itu sejalan dengan arahan Prabowo: Indonesia harus berdiri di kaki sendiri dalam urusan makan, bukan jadi pengemis gandum dan jagung dari luar negeri. Tapi realitas di lapangan? Seperti mencoba menanam padi di atas aspal.

Selama setengah tahun memimpin, Agrinas belum menghasilkan kontribusi nyata untuk ekonomi atau kesejahteraan petani. Bukan karena tak punya rencana — feasibility study sudah disiapkan — tapi proposalnya berputar-putar di meja Danantara, ditinjau ulang berkali-kali, seperti skrip film yang dimutilasi sampai hilang esensinya.

Birokrasi yang Menelan Ambisi

Bukan rahasia bahwa birokrasi Indonesia sering berjalan dengan tempo adagio. Tapi ketika yang dipertaruhkan adalah ketahanan pangan nasional, tempo itu terasa seperti sabotasenya sendiri. Joao menuding Danantara gagal menerjemahkan urgensi politik menjadi langkah konkret. Uang yang dijanjikan tak kunjung turun, proyek tak kunjung jalan, dan pesan Prabowo soal keseriusan pangan hanya terdengar sebagai slogan kosong di ruang rapat.

“Hambatan terbesar bukan alam atau pasar, tapi orang-orang yang seharusnya mendorong maju,” begitu kira-kira terjemahan emosinya.

Bukan Sekadar Drama Personal

Mundurnya Joao bukan hanya cerita satu orang yang kalah melawan sistem. Ini juga potret struktur raksasa yang memegang kendali pangan tapi tak sanggup menyalakan mesin. Ketika holding sebesar Danantara tak bisa bergerak cepat meski ada restu presiden, publik wajar bertanya: apakah ini masalah desain kelembagaan, atau masalah keberanian memotong jalur birokrasi yang berbelit?

Pelajaran dari Luar Negeri

Di negara-negara yang berhasil membangun ketahanan pangan, satu benang merah selalu terlihat: dukungan politik yang diikuti execution tanpa hambatan internal. Brasil, misalnya, punya Embrapa yang sejak 1973 menjadi mesin riset dan implementasi langsung, bukan hanya papan nama. Ethiopia, meski dihadang tantangan geopolitik, berhasil meningkatkan produksi jagung hingga 200 persen berkat distribusi bibit unggul dan pembinaan petani tanpa menunggu tanda tangan pejabat berlapis-lapis.

Indonesia, dengan sumber daya dan pasar domestik sebesar ini, mestinya tak kalah. Tapi selama visi presiden tak dibarengi political will di lapisan manajemen BUMN, kita akan tetap sibuk menyiapkan dokumen daripada menanam bibit.

Jalan di Depan: Antara Nyali dan Kecepatan

Pengunduran diri Joao Mota adalah sinyal. Kalau orang yang memegang mandat resmi saja bisa frustrasi di bulan keenam, bagaimana nasib program di tahun kedua atau ketiga? Ketahanan pangan bukan sekadar proyek — ini urusan perut rakyat dan legitimasi politik pemerintahan baru.

Kalau Danantara dan entitas sejenis tak mau dikenang sebagai fosil birokrasi, mereka harus belajar bergerak seperti start-up, bukan seperti kementerian era mesin tik. Potong jalur yang tak perlu, cairkan anggaran tepat waktu, dan buktikan bahwa visi presiden bukan sekadar kalimat pembuka pidato.

Karena kalau tidak, sejarah akan mencatat: bukan cuaca, bukan pasar, tapi birokrasi yang membuat kita lapar.(*)


Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini

Tags:


Popular Post