Prabowo & Kunjungan ‘Internasional’ yang Bikin Bingung: Mau Ngapain Sih?
By Priya Husada
03 Dec 2024
Presiden Prabowo di Tengah Dua kekuatan Dunia
LBJ - Pada 8 November 2024, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, memulai kunjungan luar negeri pertamanya sebagai kepala negara. Perjalanan ini, yang mengunjungi enam negara dalam waktu singkat, mencuri perhatian publik Indonesia dan dunia internasional. Kunjungan tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar—apakah ini benar-benar gambaran dari sosok yang selama ini digembar-gemborkan sebagai pemimpin yang tegas dan berani melawan kekuatan asing?
Kunjungan yang Terburu-Buru dan Tidak Terencana
Kunjungan Prabowo ini dilakukan kurang dari tiga minggu setelah ia dilantik sebagai presiden. Keputusan untuk melakukan tur keliling dunia ini seolah-olah dipaksakan, dengan agenda yang bahkan belum jelas hingga saat-saat terakhir. Banyak yang terkejut dengan kecepatan dan kurangnya persiapan yang matang dalam perjalanan ini. Hal pertama yang mencuri perhatian adalah ketidaksesuaian antara apa yang disampaikan Prabowo kepada publik selama kampanye dengan kenyataan di lapangan. Di sepanjang tiga kampanye presiden sebelumnya, Prabowo selalu menggembar-gemborkan bahwa Indonesia membutuhkan seorang presiden yang tegas dan mampu menghadapi tekanan dari negara besar. Namun, tindakan pertama yang diambil setelah terpilih tampaknya tidak sejalan dengan retorika tersebut.
"Saya akan terbang ke mana pun Anda berada, Mr. Trump," ujar Prabowo dengan semangat ketika menawarkan pertemuan dengan calon presiden AS, Donald Trump.
Perkataan ini menunjukkan betapa besar keinginan Prabowo untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari kekuatan besar dunia. Namun, respons dari Trump yang justru memuji kemampuan bahasa Inggris Prabowo, tanpa menunjukkan minat untuk bertemu langsung, menggambarkan ketegangan antara harapan dan kenyataan. Prabowo pun harus puas dengan pertemuan di Washington dengan Presiden Joe Biden dan pejabat pemerintahan yang lama.
Kunjungan ke Beijing: Sebuah Kesalahan Strategis?
Setibanya di Beijing, Prabowo disambut dengan penuh kemewahan oleh Presiden Xi Jinping. Namun, sambutan megah ini tak lama kemudian memunculkan kontroversi. Dalam pertemuan itu, Prabowo sepakat untuk menandatangani sebuah pernyataan bersama yang kontroversial. Pernyataan tersebut mengakui keberadaan sengketa antara Indonesia dan China mengenai klaim atas sumber daya alam di Laut China Selatan—sebuah langkah yang sebelumnya dihindari oleh para pemimpin Indonesia karena dianggap mengakui klaim China atas wilayah tersebut.
"Pernyataan itu membuka jalan bagi pengembangan bersama sumber daya laut dan gas di Laut China Selatan. Indonesia berisiko terikat pada kesepakatan yang sangat merugikan," ujar Klaus Heinrich Raditio, pengajar politik China di Jakarta.
Keputusan Prabowo untuk menerima draft pernyataan dari pihak China, tanpa berkonsultasi dengan diplomat Indonesia, menunjukkan adanya kekurangan dalam kewaspadaan dan kebijakan luar negeri Indonesia. Indonesia yang sebelumnya dikenal dengan kebijakan non-blok, berisiko terjerumus dalam rencana besar China untuk menggantikan tatanan dunia liberal dengan apa yang disebut oleh Xi sebagai "komunitas masa depan bersama".
Analisis Pakar Hukum Internasional
Banyak pakar hukum internasional, termasuk Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia, menilai bahwa pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan Indonesia terhadap klaim sepihak China di Laut China Selatan, khususnya terkait dengan sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Ia menyatakan bahwa ini bisa dianggap sebagai perubahan fundamental dalam kebijakan luar negeri Indonesia yang berpotensi mengganggu hubungan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Para pengamat seperti Eddy Pratomo juga mengingatkan bahwa kesepakatan untuk "pengembangan bersama" di wilayah yang tumpang tindih dapat meningkatkan ketegangan di kawasan. Mereka khawatir bahwa hal ini bisa menimbulkan persepsi bahwa Indonesia telah mengubah sikapnya terhadap klaim maritim China, yang selama ini ditentang oleh Jakarta.
Risiko Ketergantungan pada Lingkaran Kecil dan Tidak Berpengalaman
Kunjungan ini juga menunjukkan betapa besar risiko yang dihadapi oleh Prabowo akibat ketergantungan pada sekelompok kecil penasihat yang sebagian besar berasal dari kalangan keluarga dan militer. Beberapa diplomat Indonesia yang berpengalaman telah mencoba untuk memperingatkan Prabowo tentang bahaya kesepakatan ini, tetapi suara mereka tampaknya tidak didengar. Bahkan Menteri Luar Negeri Indonesia yang baru, yang merupakan mantan ajudan Prabowo, kurang memiliki pengalaman untuk memberikan masukan yang diperlukan dalam situasi kritis ini.
"Prabowo sering kali sulit dipahami, dan sering mengucapkan apa yang orang lain ingin dengar. Hal ini menjadikannya sosok yang sulit untuk diprediksi," ujar sumber yang dekat dengan pemerintahan Indonesia.
Fenomena ini bukanlah hal baru bagi Prabowo. Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, baik di dalam maupun luar negeri, ia dikenal sering berubah arah dengan cepat dan tidak selalu mengikuti keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Ini menambah kesulitan bagi negara-negara lain yang ingin bernegosiasi dengannya, karena mereka tidak dapat memastikan apakah komitmen yang diambil akan tetap bertahan dalam jangka panjang.
Baca juga: Trump dan Kasus Uang Tutup Mulut: Perdebatan Antara Hukum dan Politik
Langkah-langkah Berani yang Tidak Terduga
Selama pertemuan di Rio pada pertemuan G20, Prabowo mengumumkan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada batubara. Bahkan ia berjanji untuk menghentikan penggunaan batubara sepenuhnya pada tahun 2040—sebuah janji yang terasa sangat ambisius, mengingat Indonesia masih sangat bergantung pada batubara untuk dua pertiga pembangkit listrik negara tersebut. Tanpa penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana rencana tersebut akan dijalankan, publik pun mulai meragukan keseriusan janji tersebut.
Kritikan yang muncul menyoroti kurangnya strategi konkret untuk mencapai tujuan besar ini. Di satu sisi, Prabowo berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada batubara, tetapi di sisi lain ia mengabaikan kebijakan tersebut ketika ia melanjutkan perjalanan internasionalnya. Hal ini memunculkan spekulasi tentang apakah Prabowo benar-benar berniat untuk melaksanakan janji-janjinya atau sekadar menyampaikan apa yang dianggap populer di mata publik internasional.
Keterbatasan dan Tantangan yang Dihadapi Prabowo
Perjalanan luar negeri Prabowo ini jelas menunjukkan banyak ketidakpastian dan kelemahan dalam pendekatannya terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Rasa percaya diri yang berlebihan, ditambah dengan kurangnya nasihat yang objektif dari para penasihatnya, membuatnya tampak seperti seseorang yang lebih ingin mencari pengakuan daripada benar-benar memperjuangkan kepentingan Indonesia. Sebagai presiden yang baru, Prabowo perlu memahami bahwa keputusan-keputusan besar, terutama dalam hal hubungan internasional, harus diambil dengan pertimbangan matang, bukan hanya untuk meraih pengakuan atau popularitas sesaat.
Baca juga: Prabowo Tiba di Indonesia Usai Kunjungan Kerja ke Enam Negara
Namun, perjalanan ini juga memberikan pelajaran berharga bagi Prabowo dan timnya. Satu hal yang jelas, keberhasilan dalam dunia politik internasional bukan hanya bergantung pada kemampuan berbicara bahasa asing atau menghadiri pertemuan internasional, tetapi pada kebijakan yang berkelanjutan dan didasari oleh pemahaman mendalam tentang geopolitik global.
"Kunjungan ini menunjukkan bahwa untuk menjadi pemimpin yang efektif di panggung internasional, seorang pemimpin perlu mengandalkan lebih dari sekadar pesona pribadi dan kemampuan berbicara di depan kamera."
Dengan tantangan yang semakin kompleks, Prabowo harus mulai merencanakan kebijakan luar negeri Indonesia dengan lebih hati-hati dan menyelaraskan antara retorika yang ia bangun selama kampanye dan kebijakan nyata yang diambil di lapangan.
Dampak terhadap Hubungan ASEAN dan Internasional
Langkah Prabowo untuk menandatangani pernyataan bersama dengan China dan pengakuan terhadap klaim sepihak di Laut China Selatan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara ASEAN. Kebijakan ini bisa mengganggu solidaritas ASEAN dalam menghadapi tekanan dari China dan mengubah dinamika geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang juga memiliki klaim di Laut China Selatan mungkin merasa terabaikan atau bahkan diabaikan oleh kebijakan baru Indonesia.
"Dengan langkah ini, Indonesia berpotensi menciptakan gesekan dengan sekutu-sekutu ASEAN yang selama ini bekerja sama untuk menjaga kedaulatan di Laut China Selatan," ujar Eddy Pratomo, pengamat politik internasional.
Para pengamat khawatir bahwa perubahan sikap Indonesia dapat melemahkan posisi ASEAN dalam negosiasi regional dan internasional. Mereka menilai bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan ini terhadap hubungan bilateral dan multilateralnya.
Reaksi Publik dan Media
Reaksi publik di Indonesia terhadap kunjungan dan keputusan Prabowo beragam. Banyak yang mengkritik kurangnya transparansi dan konsultasi dalam pengambilan keputusan penting ini. Media nasional juga menyoroti inkonsistensi antara retorika kampanye dan tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa pihak menilai bahwa Prabowo tampak lebih fokus pada pencitraan internasional daripada menyelesaikan isu-isu domestik yang mendesak.
Namun, ada juga yang mendukung langkah Prabowo sebagai upaya memperkuat posisi Indonesia di panggung global. Mereka berpendapat bahwa keterlibatan aktif dengan negara besar seperti China dapat membuka peluang ekonomi dan investasi yang signifikan bagi Indonesia. "Kita harus cerdas dalam menjalin hubungan dengan semua pihak, termasuk China, untuk memajukan kepentingan nasional," ujar seorang analis ekonomi.
Masa Depan Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Ke depan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan aspirasi nasional dan kepentingan strategis. Prabowo perlu mengkaji ulang keputusan yang telah diambil selama kunjungan pertamanya dan memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.
Koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan diplomat berpengalaman diperlukan untuk menghindari kesalahan yang dapat merugikan posisi Indonesia di mata dunia. Selain itu, penting bagi Prabowo untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan negara-negara ASEAN dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip kerjasama regional.
Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, masa depan kebijakan luar negeri Indonesia sangat bergantung pada kemampuan Prabowo untuk menyeimbangkan antara aspirasi domestik dan dinamika internasional yang terus berubah. Keberhasilan atau kegagalan dalam hal ini akan menentukan posisi Indonesia di kancah global dalam beberapa tahun ke depan.***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini