PKS kalah di Depok dan Jakarta, Kok Bisa? Begini Penjelasannya
By Priya Husada
28 Nov 2024
Partai Keadilan Sejahtera (foto: Facebook PKS)
LBJ - Pemilu dan Pilkada 2024 menjadi momen penting bagi banyak partai politik di Indonesia, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, kekalahan telak yang mereka alami di beberapa daerah basis mereka, seperti Depok dan Jakarta, membuka mata banyak pihak bahwa ada sesuatu yang salah dalam strategi mereka. Apa sebenarnya yang menyebabkan PKS terpuruk? Mari kita telusuri lebih dalam.
Kualitas Calon yang Kurang Menarik
Bagi banyak orang, tokoh adalah salah satu faktor penentu dalam memilih calon pemimpin. Namun, PKS gagal dalam hal ini. Banyak pengamat, seperti Arif Nurul Imam, menyebutkan bahwa calon-calon yang diusung PKS dalam Pilkada 2024 kurang memiliki daya tarik. Misalnya, pasangan calon yang diusung di Depok, Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi, tak mampu bersaing dengan pasangan Supian Suri dan Chandra Rahmansyah. "Tokoh yang diusung PKS mungkin dianggap kurang menjual," kata Imam, yang mengungkapkan bahwa pemilih merasa tidak cukup tertarik dengan calon-calon tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, kualitas seorang calon sangat berpengaruh pada tingkat keterpilihan. Sebagai partai yang ingin terus eksis, PKS seharusnya mampu mengusung tokoh yang tidak hanya dikenal, tapi juga memiliki kapasitas dan relevansi dengan isu-isu kekinian. Apalagi, di tengah dinamika politik yang semakin canggih, pemilih juga semakin kritis dan selektif. Dalam hal ini, PKS kehilangan momentum.
Koalisi yang Terlalu Rumit
Selain masalah calon, PKS juga mengalami kegagalan dalam menjalin koalisi yang efektif. Hal ini cukup jelas terlihat di beberapa daerah, di mana mereka gagal membangun aliansi yang solid. Koalisi Indonesia Maju Plus, yang terdiri dari partai-partai besar seperti Golkar, NasDem, dan PPP, berhasil mengalahkan calon PKS dengan angka yang cukup signifikan. Masalahnya, PKS tampaknya tidak cukup lihai dalam mengelola koalisi mereka sendiri. "Kesalahan dalam membangun aliansi membuat suara PKS semakin terfragmentasi," ujar salah seorang pengamat politik.
Salah satu faktor yang memperburuk keadaan adalah ketidakmampuan PKS untuk menyatukan kekuatan dengan partai-partai yang memiliki visi yang lebih jelas. Di sisi lain, partai-partai besar mampu bekerja sama dengan lebih solid, menghasilkan kombinasi yang lebih kuat dalam memenangkan hati pemilih.
Melemahnya Mesin Politik Internal
Salah satu tantangan terbesar PKS dalam Pilkada 2024 adalah melemahnya mesin politik internal. PKS yang dikenal memiliki struktur yang solid dan terorganisir tampaknya mulai goyah. Terutama di tengah persaingan internal yang semakin panas, terjadi ketegangan antara faksi konservatif dan faksi moderat. Faksi keadilan dan faksi sejahtera seakan-akan berlomba dalam memperebutkan suara dan perhatian dari pemilih.
Hal ini, tentu saja, berdampak pada efektivitas organisasi dalam mobilisasi suara. Faksionalisme yang terjadi justru mengganggu konsolidasi yang dibutuhkan untuk memenangkan Pemilu. "Persaingan internal PKS lebih merugikan daripada menguntungkan," ujar pengamat politik lain yang menilai bahwa ketegangan ini berujung pada perpecahan suara yang mengarah pada kekalahan.
Pemilih yang Semakin Cerdas
Pilkada 2024 juga menunjukkan bahwa pemilih di Indonesia semakin cerdas dan kritis. Mereka tidak lagi memilih berdasarkan afiliasi partai, melainkan lebih pada figur calon yang mereka rasa paling mampu memenuhi harapan mereka. Ketika pemilih merasa bahwa PKS tidak menghadirkan calon yang mampu menawarkan perubahan nyata, maka suara pun berpindah. "Pemilih sekarang lebih memikirkan kualitas figur daripada sekedar partai," jelas Daeng Dwi seorang pengamat politik muda.
Di sisi lain, PKS harus menghadapi kenyataan bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Depok, mereka sudah tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan utama. Para pemilih lebih terbuka pada pilihan lain, yang dianggap lebih relevan dengan isu-isu kekinian. Kecenderungan ini semakin memperburuk posisi PKS yang kerap dianggap terjebak dalam politik lama.
Perpecahan Partai dan Dampaknya
Kekalahan PKS juga tidak lepas dari dampak perpecahan internal yang terjadi beberapa waktu lalu. Kehadiran Partai Gelora Indonesia, yang didirikan oleh sejumlah kader senior PKS, seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah, turut memengaruhi suara PKS. Banyak pengamat menyebutkan bahwa perpecahan ini memecah konsolidasi suara, sehingga PKS kehilangan dukungan di beberapa daerah.
Kehilangan sejumlah kader terbaik membuat PKS terpaksa merangkak lagi untuk merebut kembali hati pemilih yang sebelumnya loyal. "PKS kini harus berhadapan dengan mantan kadernya sendiri di Gelora," ujar seorang analis politik yang menilai bahwa perpecahan ini semakin mempersulit jalan PKS dalam merebut kembali kursi-kursi yang hilang.
Pengaruh Posisi Oposisi dalam Pemerintahan
Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, PKS memilih berada di barisan oposisi. Namun, pada akhirnya, partai ini memutuskan untuk bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, yang didukung oleh Joko Widodo dan Prabowo. Keputusan ini tentu berpengaruh pada persepsi pemilih tradisional PKS. Bagi mereka, PKS yang dulunya dikenal dengan sikap kritisnya terhadap pemerintah, kini terlihat seperti "hanya mengejar kekuasaan."
Pemilih merasa bahwa PKS mengorbankan prinsip-prinsip perjuangannya demi posisi politik yang lebih strategis. Hal ini mengundang kekecewaan, terutama bagi mereka yang menganggap PKS sebagai partai yang lebih memperjuangkan nilai-nilai idealis.
Dengan berbagai masalah yang dihadapi, PKS kini berada pada titik balik yang krusial. Tanpa adanya perbaikan dalam kualitas calon, koalisi yang lebih solid, dan pembenahan mesin politik internal, partai ini bisa kehilangan posisinya sebagai salah satu pemain utama dalam politik Indonesia. Pemilih semakin selektif, dan PKS harus lebih cerdas dalam merespons perubahan yang ada. Ke depannya, bagaimana PKS akan bangkit dari keterpurukan ini? Hanya waktu yang akan menjawab..***
Update Cepat, Info Lengkap! Join Whatsapp Channel Kami Klik Disini